
Cerita di Kaki Langit
Syahdan. Sore itu, di akhir pekan. Di fase kedua Ramadhan, kembali datang di tepi teluk, menikmati deru ombak menggulung kenangan lalu, sambil menunggu waktu berbuka puasa.
Duduk di samping dermaga, menikmati hembusan angin teluk, Burung Camar terbang rendah meliuk-liuk di sisi kapal sesekali mendekati buritan kapal berlabuh di dermaga.
Sayup-sayup terdengar lantunan ayat-ayat-Mu mengetuk pintu-pintu langit. Berseru untuk hamba agar bersyukur dan bersujud kepada-Mu.
Pengamen jalanan memetik tali gitarnya mengiringi nyanyian balada di sore itu menambah syahdunya pesona alam di kaki langit.
Saat itu, lembayung senja sedang menghiasi Bumi. Warna langit merah keunguan berpendar di garis cakrawala.
“Saya terpana. Saya tidak terpana pada keindahanmu. Langit berwarna merah keunguan di horison itu lebih menarik perhatianku.”
Kesetiaan bumi pada porosnya menjadi bukti adanya batas waktu. Tidak perlu berdebat bumi bulat atau datar. Pergantian siang malam akan mengantar manusia bersyukur atas apa yang telah diraih.
Saat menikmati rona jingga, terpikir tentang rasa terbuang sia-sia, sehingga aku mulai menikmati rasa itu.
Jangan risau apalagi patah. Ku nikmati rasa itu, cukup menenangkan dengan kesendirian di batas waktu. Langit dan deru ombak di sore itu, seperti obat penenang untukku.
Perpaduan warna sempurna, mampu meluruhkan jenggala di pikiranku. Hamparan langit lebih menarik. Subhanallah. Aku menikmatinya.
Tetapi, rona merah menjalar di sekitar pipinya. Membuat detak jantungku tak beraturan. Aliran darahku mengalir deras. Entahlah.
Mengapa ada seutas senyum di bibirku. Ada rasa. Rasa itu berbeda dari dalam dirinya. Ku tetap rona merah itu membias bayangan di wajahmu, hingga bayangmu hadir tepat di retina mataku.
Kini anganku tak jernih lagi. Mengusik elektron di tubuhku untuk bergerak. Elektron itu terus bertambah membuatku makin dekat. Aku duduk bersebelahan dan mempunyai banyak bahan untuk dibicarakan. Aku makin nyaman di sisinya.
Kuingat semua untaian kata manis terucap dari bibirnya. Senyumannya dan rasa itu, kini menjadi memori indah. Tetapi, ada satu hal membuat aku membencinya.
“Janganlah menyayangiku terlalu dalam. Itu akan menyakitimu,” kataku.
Aku paham keindahanmu meninggalkanku. Saat matahari berada di garis horison, aku berharap kau ada di sana. Tersenyumlah kepadaku, ceritakan kisahmu.
Meski itu hanya bayangmu yang tak kasat mata. Angin hanya berkabar membawa pesan. Banyak rasa tersembunyi, tetapi selalu ada keindahan.
Kerinduan seorang kekasih yang hatinya terbawa angin senja perlahan bergerak menjauh dari pandangan mata. Membungkus keindahan di penghujung tahun di sore itu.
Detak jantung dan desah napas bergetar lebih cepat, mengantarkan aku ke dalam dekapan malam. Pertemuan itu begitu cepat, banyak peristiwa untuk dikenang, meskipun kadang syahdu, kadang begitu sendu.
Kini aku menatap dari jauh, pesonamu membuatku takjub. Bak planet Saturnus begitu indah. Bentuknya seperti cincin. Cincin terbuat dari bongkahan es yang tersebar sangat luas, tetapi tipis.
Diameternya mencapai 250 ribu kilometer dan tebalnya antara 100 meter sampai 1 kilometer. Cincin ini memantulkan 70 persen dari cahaya Matahari. Itulah sebabnya cincin Saturnus kelihatan sangat terang. Bak cahaya rembulan di bulan purnama.
Atmosfer di sini tampak sangat tebal, dua kali lebih tebal dengan atmosfer Yupiter.” Sehangat Saturnus memesona penduduk bumi. Cincin tersusun dari gas beku butiran debu, bisa membuat hati perindu makin beku. (*)