
Kelas Ramadhan
Pagi itu, semburat jingga di ufuk timur menyambut saya setelah keluar dari masjid. Kabut tipis masih menyelimuti lembah, menandakan malam segera berlalu.
Kicauan burung memecah sunyi, mengiringi langkah saya menuju sekolah.
Dengan sepeda motor tua, saya menyusuri jalanan yang masih sepi.
Matahari mulai naik, menghangatkan udara pagi. Dari lereng, rona jingga di balik gunung tampak begitu indah, seperti lukisan alam yang sempurna.
Tepat pukul 07.20, saya tiba di gerbang sekolah. Sohib saya sudah lebih dulu datang, menyambut murid di hari pertama sekolah bulan Ramadhan.
Hari itu adalah pengalaman pertama saya mengajar di bulan Ramadhan. Selama 11 tahun mengabdi sebagai pendidik, baru kali ini sekolah mengadakan kegiatan belajar mengajar di bulan puasa.
Kegiatan ini akan berlangsung selama dua minggu, dari tanggal 6 hingga 21 Maret 2025.
Di hari pertama, banyak murid yang absen.
Pengajaran Ramadhan berisi nasihat pagi, tadarus, salat Duha berjamaah berjalan lancar. Lalu, dilanjutkan proses belajar mengajar seperti biasa.
Saya mengajar konsep atom untuk kelas 9 dan senyawa untuk kelas 8, dengan materi yang disederhanakan agar mudah dipahami.
Hari itu, saya mengajar di tiga kelas berbeda. Di sesi terakhir, kami mengadakan kultum dan tadarus sambil menunggu waktu salat Dzuhur.
Saat kultum, saya menceritakan kisah Rabi’ bin Sulaiman, murid Imam Syafi’i yang lambat memahami materi belajar.
Kisah ini mengajarkan tentang kesabaran seorang guru. Rabi’ berkali-kali tidak memahami pelajaran yang dijelaskan Imam Syafi’i, bahkan hingga 39 kali.
Namun, Imam Syafi’i tidak pernah menyerah. Beliau terus mengajar dengan sabar, bahkan mengajak Rabi’ belajar secara privat.
Ketika Rabi’ masih belum paham, Imam Syafi’i berkata, “Muridku, sebatas inilah kemampuanku mengajarimu.”
“Jika kau masih belum paham juga, maka berdoalah kepada Allah agar berkenan mengucurkan ilmu-Nya untukmu,” kata Imam Syafi’i.
“Saya hanya menyampaikan ilmu, Allah-lah yang memberikan ilmu.”
“Andai ilmu yang aku ajarkan ini sesendok makanan, pastilah aku akan menyuapkannya kepadamu.”
Rabi’ mengikuti nasihat gurunya. Ia rajin berdoa dan belajar dengan sungguh-sungguh.
Hasilnya, Rabi’ bin Sulaiman kemudian menjadi ulama besar dan perawi hadis yang terpercaya.
Kisah ini adalah bukti buah kesabaran Imam Syafi’i dalam mengajar.
Saya berharap kisah ini dapat menginspirasi para guru dan orang tua untuk lebih sabar dalam mendidik.
Ingatlah, tidak ada anak yang bodoh. Mari kita motivasi anak-anak kita untuk terus belajar.
dan berdoa, serta jangan lupa mendoakan para guru, orang tua, dan orang-orang yang mereka sayangi.
Setelah salat Dzuhur berjamaah, murid diperbolehkan pulang. (*)