Guyub di “Puncak” Albadar
Cerita ini, mungkin tidak penting bagi Anda. Bukan bercerita politik, bukan pula mengupas produksi uang palsu di kampus ternama. Tetapi tulisan ini bercerita soal murid yang ingin menempa diri, ingin perdalam ilmu agama.
Siang itu, cuaca sejuk, maklum selama sepekan kotaku diguyur hujan dengan intensitas lebat.
Wajah-wajah mereka terlihat gembira, mereka berkumpul di halaman sekolah, sebelum diberangkatkan secara bertahap ke Pondok Pesantren DDI Al-Badar Kota Parepare, Sulawesi Selatan.
Perjalanan menuju Pesantren DDI Albadar butuh waktu sekira 20 menit dari Kota Parepare, menggunakan kendaraan roda empat atau roda dua melewati jalan cukup sempit, jalan berkelok dan mendaki.
Memasuki kawasan Bilalang, kami disuguhi keindahan alam menakjubkan. Hamparan sawah dan kaki gunung memanjakan mata.
Saat tiba di puncak gunung tempat Pondok Pesantren DDI Albadar, suhu atmosfer terasa sejuk, dedaunan hijau melakukan fotosintesis.
“Nikmat apa lagi yang kau dustakan,” kata sohib.
Anak didik pun takjub mereka menikmati udara sejuk, menyegarkan tubuh di sore itu.
Mereka tidak sabar berkeliling di area pondok pesantren memiliki luas 25 hektar itu.
Menghirup udara sejuk, di bawah dedaunan nan hijau, sambil menikmati suasana alam di pondok pesantren menyegarkan tubuh.
Saat itu sinar matahari tidak terlihat terhalang awan tebal. Rinai turun, menyambut kami. Salawat bergema di masjid mengetuk pintu-pintu langit, menambah suasana tenang.
Para guru pendamping registrasi jumlah anak didiknya yang mondok selama empat hari. Anak didik diminta bersiap salat Ashar berjemaah.
Langkah kaki-kaki mungil itu terdengar riuh menuju masjid. Ratusan anak didik bersama orang tua, dan guru menikmati suasana guyub.Menikmati program pengembangan religius di pondok pesantren.
Saya bersama sohib menuju ruang kelas, di dinding kelas berwarna hijau tertulis Imam Malik.
Anak-anak memasuki tempat istirahat mereka, setelah menunaikan salat ashar berjemaah.
Di sebuah sudut kelas, sejumlah orang tua terlihat berdiskusi. Mereka persiapkan perlengkapan buah hatinya.
Selama empat hari, mereka berpisah, berada jauh di dekapannya. Anak didik didampingi guru selama belajar di pondok.
“Saya siapkan bajunya, jajannya, air minum, dan kebutuhan lainnya, Pak,” katanya.
“Belajarlah hidup mandiri di sini (pondok pesantren) Nak. Disiplinlah beribadah. Dengarkan kata guru dan ustaz Setelah pulang nanti, saya berharap anak saya lebih baik,” nasihatnya sambil mengusap kepala anaknya.
Pada program ini orang tua berharap, anaknya nyaman belajar dan beribadah. Suasana tenang, nyaman dan jauh dari hiruk-pikuk kota.
“Kutitip anak-anak Pak,” katanya pamit naik sepeda motor meninggalkan area pondok pesantren.
Hari kedua, sejumlah orang tua mengunjungi anaknya memastikan sang buah hati sehat. Sang ibu mengaku, belum pernah berpisah dengan anaknya.
“Saya tidak pernah berpisah dengan anakku Pak. Di rumah sepi sekali, makanya saya datang ke sini.,” katanya.
“Jangan lewatkan salat 5 waktu. Doakan ibu, sehat-sehat selalu,” pintanya saat bercengkrama, sesekali tangan sang ibu mengelus kepala anaknya.
Saat matahari bergerak turun menuju horizon, ayat suci Alquran dilantunkan di masjid, anak-anak kor menuju masjid menunaikan salat magrib berjemaah, dilanjutkan kuliah tujuh menit.
Hujan turun. Kicauan burung bergema di ranting pohon nan hijau. Orkestra katak bersenandung di bilik saluran air menjaga berudunya.
Angin berhembus manja meraba kulit. Saya mengenakan pakaian tebal. Anak-anak istirahat, terlelap, udara malam di pegunungan meraba tubuhnya.
Tidak terasa, suara sayup-sayup menembus dinding kelas, ayat-ayat Alquran makin terdengar. Santri bergegas bangun.
Langkah kakinya tak terdengar menuju di kamar mandi. Suara gemercik air dari keran yang jatuh ke lantai terdengar riuh.
Menggosok gigi, ritual wudhu pun dilakukan dengan tertib. Hati terasa tenang dan damai saat air wudhu membasahi tubuh di subuh itu.
Kembali melangkahkan kakinya menuju masjid, meraih peci hitam yang tergantung di dinding. Peci itu menutupi kepalanya.
Saat tiba di masjid, ia mulai membentangkan sajadah. Di pagi buta itu, ia menunaikan salat Subuh berjemaah dengan khusyuk.
Setelah itu dzikir dan berdoa, sebagian anak-anak meraih Alquran yang tersimpan di atas sajadah. Ayat demi ayat pun dilantunkan dengan fasih.
Pagi itu, hingga sore mereka disibukkan dengan kegiatan belajar di masjid.
Program pengembangan religius di Ponpes digagas Pemerintah Kota Parepare menciptakan generasi religius, berkarakter mulia sesuai norma agama.
“Murid merasakan suasana khas di pondok pesantren. Menanamkan nilai-nilai kehidupan bermakna,” kata pengelolah pondok.
Saya berharap murid menunjukkan sikap hormat, kasih sayang kepada orang tua, keluarga, lingkungan sekitar.
Telah disiapkan materi terbaik, seperti Tharah, Ibadah wajib & sunnah. Praktik salat jenazah, tadarus, praktik salat qobliah, salat tahajud, dan praktik lainnya.
Para murid bisa menambah wawasan keagamaannya, mengaplikasikan saat kembali ke rumah.
Selain menerima materi, setiap subuh seluruh peserta mengikuti dzikir bersama, olahraga dan ice breaking.
“Belajar di pesantren tenang, udara sejuk, dan rindang. Di pondok, disiplin waktu, terutama soal ibadah, sangat ketat,” katanya. (*/Hairil)