Ramah Disabilitas,  Gagasan Alternatif Layanan Haji

Oleh : Ibrahim Fattah

Musim haji tahun 2023 banyak lansia diberangkatkan, tanpa pendamping dari keluarga dekat.

Peran pendamping lansia mau tidak mau teman sekamar diharapkan seperti ibu atau bapak lansia.

Seperti yang dialami Imuma, jamaah haji asal Parepare, lansia berusia 102 tahun. Imuma, dilayani dengan tulus oleh teman sekamarnya.

Apakah semua lansia tidak mandiri melaksanakan rangkaian ibadah haji?

Apakah semua lansia membutuhkan alat bantu, seperti kursi roda atau tongkat?

Faktanya tidak berbanding lurus juga. Hasil pengamatan saya di Madinah dan di Makkah, ada beberapa jamaah haji lansia yang cukup kuat, mereka mandiri ke masjid, bisa Thawaf, Sa’i, dan melempar jumrah.

Di sisi lain ada jamaah haji berusia muda justru tidak mandiri, dia penyandang disabilitas.

Dia membutuhkan alat bantu dan bantuan orang lain. Jadi istilah ramah lansia kurang tepat karena ada jamaah haji lansia tetapi kuat dan mandiri.

Sebaliknya ada jamaah haji yang masih muda namun tidak mandiri melakukan Thawaf, Sa’i dan melempar jumrah. Dia butuh alat bantu.

Saya mengusulkan gagasan alternatif kepada pemerintah agar mengganti istilah ramah lansia menjadi ramah penyandang disabilitas.

Mengapa demikian?, lansia itu hanya salah satu bagian dari penyandang disabilitas.

Penyandang disabilitas cakupannya jauh lebih luas, yaitu dia sendiri sebagai difabel atau orang yang berkebuhan khusus, dia juga sebagai lansia.

Penyandang disabilitas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah keadaan (seperti sakit atau cedera) yang merusak atau membatasi kemampuan mental dan fisik seseorang.

Sederhananya ia memiliki keterbatasan fisik untuk melihat, mendengar, berjalan, dsb. Keterbatasan ini mungkin disebabkan karena ia sakit, cedera, depresi atau karena lansia.

Penyandang disabilitas itu bisa menghadapi masalah keterbatasan fisik lebih dari satu.

Misalnya ia tidak bisa berjalan karena sudah kecelakaan, pada saat yang sama matanya rabun, ia juga tuli sekaligus usianya sudah 80-an tahun.

Di sisi lain ada  jamaah haji yang sudah lansia tetapi tetap kuat berjalan, tidak butuh dipapah, dan pendengaranya masih bagus. Lansia seperti ini mandiri.

Dengan demikian sebaiknya tema atau tagline pemerintah bukan ramah lansia tetapi sebaiknya diganti dengan tema atau tagline ramah penyandang disabilitas karena lansia sudah inklud di dalamnya juga sehingga lapisannya lebih luas dari sekadar lansia.

Lansia hanya salah satu bagian dari penyandang disabilitas dan belum tentu semua lansia butuh kursi roda.

Pengalaman saya di tanah suci, ada jamaah haji asal Parepare, lansia tetapi ia kuat berjalan, mulai pada saat Thawaf, Sa’i hingga berjalan ke Jumerat.

Sebaliknya ada jamaah haji berusia muda penyandang disabilitas, bergantung dari alat bantu (tongkat dan kursi roda).

Berarti poinnya bukan pada lansia atau tidaknya jamaah haji itu tetapi sejahumana ia mampu mandiri.

Saya tertarik membahas isu penyandang disabilitas ini karena kebetulan lembaga saya, YLP2EM sedang bekerja pada isu ini.

Mengadvokasi DPRD untuk mendorongnya menjadi Peraturan Daerah melalui hak inisiatif.

Negara melalui daerah bertanggung jawab memberi pemenuhan dan perlindungan kepada penyandang disabilitas melalui Peraturan Daerah.

Kebijakan penggantian istilah dari ramah lansia menjadi ramah penyandang disabilitas, merupakan ranah pemerintah (Kementerian Agama RI).

Sebagai warga negara, ada hak konstitusi mengeluarkan pendapat baik lisan maupun tulisan. Hal ini disebutkan dalam Pasal 28 E ayat (3) UUD  Tahun 1945. Gagasan ini semoga dapat memperkaya wawasan kita.

Alhamdulillah jamaah haji keloter 4, semua pulang dalam kedaan sehat dan bertemu kembali dengan keluarganya.

Semoga kelak, pembaca menyusul dipanggil pula oleh Allah datang ke tanah suci. (*)
Foto: Ngopibareng.id

__Terbit pada
21 Juli 2023
__Kategori
Culture, ESAI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *