Perlukah Gelar Haji Itu?

Oleh : Ibrahim Fattah

Dalam sejarah awal Islam, empat sahabat utama Rasulullah, yaitu Umar Bin Khattab, Abu Bakar Assidiq, Usman Bin Affan dan Ali Bin Ali Thalib, tak seorangpun diantaranya yang diberi gelar haji di depan namanya.

Sahabat lainnya juga tidak ada yang memanggil pelanjut Rasulullah itu dengan panggilan haji. Tegasnya, tidak ada jejak sejarah yang bisa membuktikan gelar haji itu.

Demikian pula pada generasi setelah empat khalifah, yaitu tabiin maupun tabi tabiin.

Tidak ada jejak sejarah yang membenarkan bahwa di masa lalu pernah ada gelar haji-hajjah bagi muslimin-muslimat yang sudah menunaikan ibadah haji di tanah suci.

Kesimpulannya, tidak ada jejak sejarah dari tiga generasi awal islam yang pernah memakai gelar haji di depan namanya.

Pertanyaan kritisnya, dari mana asal usulnya sehingga di Indonesia muncul gelar haji bagi laki-laki dan hajjah bagi perempuan?.

Siapa yang menginisiasi sehingga seolah-olah menjadi gelar bagi orang yang telah pulang dari beribadah haji di tanah suci?

Dua pertanyaan ini, penting kita menemukan jawabannya agar gelar atau panggilan haji-hajjah itu jelas dasarnya.

Gelar haji-hajjah itu hanya ada di Indonesia, gelar itu diinisiasi pada masa penjajahan Belanda.

Apa motif Belanda memberi gelar haji-hajjah itu kepada muslim-muslimat pribumi yang telah pulang dari beribadah haji di tanah suci?

Ternyata salah satu motifnya, Belanda ingin menandai orang yang bergelar haji itu agar tidak leluasa membangun kekuatan untuk melawan.

Pemerintah kolonial Belanda di masa penjajahan membatasi dengan ketat pribumi yang mau menunaikan ibadah haji.

Belanda khawatir setelah jamaah haji tiba di tanah suci mereka bertemu dan mendapat dukungan dari tokoh Islam dari bangsa lain yang sudah merdeka.

Belanda khawatir jika jamaah haji setelah tiba di tanah air bangkit menggalang kekuatan rakyat.

Kapan Belanda mulai memberikan gelar haji di depan nama pribumi muslim yang sudah melaksanakan ibadah haji di tanah suci?

Ternyata gelar haji pertama kali diterapkan pada tahun 1916. Gelar haji diatur dalam Staatsblad 1903, setelah penerapan aturan ini, jamaah haji menerima sertifikat dan diberi gelar haji di depan namanya (Kompas.com).

Ibadah haji merupakan rukun Islam yang kelima. Mengapa empat rukun lainnya tidak dijadikan pula gelar di depan nama seorang muslim-muslimat yang telah melaksanakan kelima rukun Islam itu?.

Misalnya nama seseorang diawali dengan gelar Syahadat, Sholat, Puasa, Zakat, Haji Fulan. Dengan kata lain mengapa hanya rukun Islam kelima saja yang dijadikan sebagai gelar?.

Jika suatu perbuatan atau amalan dilaksanakan tanpa dimengerti atau tidak ada pengetahuan yang mendasarinya, bisa menjadi penyebab Allah menimpakan azab.

Hal ini disebutkan dengan jelas dan sangat keras dalam QS Yunus ayat 100, berbunyi “Dan tidak seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah dan Allah menimpakan azab kepada orang yang tidak mengerti”.

Jadi sudah jelas bahwa gelar haji itu diberikan oleh Belanda pada masa penjajahan.

Lalu mengapa hingga kini masih bertahan bahkan makin eksis?.

Salah satu faktornya karena sebagian jamaah haji Indonesia tidak mengerti atau tidak punya pengetahuan bahwa gelar haji itu sesungguhnya bukan gelar yang diberikan setelah pulang beribadah haji dari tanah suci.

Alhamdulillah jamaah haji keloter 4, semua pulang dalam keadaan sehat dan bertemu kembali dengan keluarganya.

Semoga kelak, pembaca menyusul dipanggil pula oleh Allah datang ke tanah suci. (*)

Ilustrasi kompasiana.com

__Terbit pada
20 Juli 2023
__Kategori
Culture
2

2 comments on “Perlukah Gelar Haji Itu?”

  1. This web site is really a walk-through for all of the info you wanted about this and didn’t know who to ask. Glimpse here, and you’ll definitely discover it.

  2. excellent publish, very informative. I wonder why the opposite specialists of this sector do not understand this. You must proceed your writing. I am confident, you have a great readers’ base already!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *