Ibadah Haji dan Budaya Arab

Oleh : Ibrahim Fattah

Tulisan saya hari ini dan insya Allah akan disusul dengan dua tulisan berikutnya. Tulisan penutup untuk mengakhiri tulisan saya tentang perjalanan spiritual selama di tanah suci.

Tulisan saya hari ini dan dua hari kemudian agak berbeda dengan tulisan sebelumnya. Temanya sedikit lebih serius karena saya membahas aspek perspektif tentang beberapa aspek.

Hari ini saya mengkaji aspek ibadah haji dan budaya Arab. Ibadah itu sudah ada tuntunannya dari Rasulullah melalui hadits.

Siapa menyalahinya atau siapa  menambahkan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah, itu disebut bid’ah.

Sedangkan bid’ah itu diancam dengan api neraka. Tegasnya tidak boleh ada amalan yang tidak sesuai tuntunan agama.

Sebagai contoh ibadah haji. Ibadah ini sudah ada rukunnya, yaitu berpakaian ihram, thawaf ifadah, sa’i, wukuf di padang arafah, memotong rambut atau tahallul,dan tertib.

Keenam rukun ini harus dilaksanakan semua, tidak boleh ada tersisa. Tidak bisa juga salah satu dari 6 rukun ini diganti dengan amalan lain karena sudah demikian tuntunannya dari Rasulullah Saw.

Sedangkan budaya itu berasal dari hasil pikiran manusia, adat istiadat atau kebiasaan masyarakat yang berlangsung secara turun temurun.

Budaya itu bisa berubah jika peradaban suatu masyarakat ikut berubah. Sedangkan tuntunan agama tentang ibadah haji, sejak Rasulullah Ibrahim, dilanjutkan Rasulullah Muhammad, rukun haji masih tetap seperti yang ada saat ini.

Dengan demikian antara ibadah haji di satu sisi dan budaya arab disisi lain merupakan dua hal yang berbeda.

Tidak boleh dipersamakan meski agama Islam itu berasal dari negeri Arab yang dibawa Rasulullah Muhammad Saw.

Harus ada garis pemisah yang tegas diantara keduanya sehingga dalam melaksanakan ibadah haji, umat Islam tidak terjebak dengan dua hal tersebut.

Ketika jamaah haji keloter 4 Parepare-Bulukumba, perjalanan pulang ke tanah air, menjelang tiba di bandara Sultan Hasanuddin.

Di atas pesawat, jamaah haji perempuan sudah mulai bersolek di kursi pesawat dengan gaya pakaian hajjah ala Bugis.

Pakaian itu mereka sudah siapkan sejak masih di Kota Parepare. Sebelumnya saya kira ibu-ibu itu membelinya di Makkah.

Pakaian hajjah ala Bugis itu sudah selesai sebelum Garuda Indonesia mendarat di Bandara Sultan Hasanuddin.

Saya lihat penampilan ibu-ibu hajjah siang itu menjelang masuk waktu sholat Jumat, jauh lebih nyentrik dari sebelumnya.

Ibu-ibu yang berusia sepuh ikut juga bersolek, dibantu ibu-ibu muda. Sebagian juga nanti bersolek setelah tiba di asrama haji Sudiang.

Sedangkan jamaah laki-laki, pada umumnya nanti mengganti pakaiannya setelah tiba di asrama haji.

Toilet satu-satunya tempat terdekat untuk menjadi tempat mengganti pakaian.

Sedangkan pada saat yang sama jamaah haji mau melaksanakan sholat qasar dhuhur-ashar sekaligus menunggu koper pakaian yang tiba secara bertahap dari bandara. Sibuknya luar biasa.

Usai acara pelepasan di asrama haji Sudiang, jamaah haji Parepare naik ke bus untuk berangkat ke Parepare, sekitar pukul 14.00, siang.

Menjelang masuk waktu sholat magrib, bus singgah di Bojo untuk sholat berjemaah, sekaligus jamaah haji menata ulang penampilannya.

Sebelum tiba di gedung Islamic Center Parepare. Desa Bojo hanya berjarak sekitar 10 Km dari Kota Parepare.

Bus tiba secara konvoi di Islamic Center, disambut keluarga jamaah haji.

Saya turun dari bus dan masuk ke gedung Islamic Center dengan berpakaian kemeja motif biru dan celana hitam.

Saya tidak berpakaian terusan, tidak pakai songkok putih dan tidak pakai sorban.

Bagi saya itu adalah pakaian budaya Arab. Saya pulang ke tanah air dengan identitas Indonesia.

Alhamdulillah jamaah haji keloter 4, semua pulang dalam keadaan  sehat dan bertemu kembali dengan keluarganya.

Semoga kelak, pembaca menyusul dipanggil pula oleh Allah datang ke tanah suci.(*)

Ilustrasi jemaah haji Indonesia (kendaripos.fajar.co.id)

__Terbit pada
19 Juli 2023
__Kategori
Culture, Lifestyle

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *