Tak Terasa Air Mata Menetes, Usai Thawaf Wada

Oleh : Ibrahim Fattah

Tidak ada pesta yang tak berakhir. Selama 42 hari berada di tanah suci, kini waktunya sudah berakhir.

Sudah saatnya jamaah haji bersiap-siap pulang ke Tanah Air. Kata orang bijak waktu adalah kesempatan, kesempatan itu tidak pernah datang dua kali.

Kata Ali Bin Ali Thalib, waktu adalah pedang. Siapa yang tidak memanfaatkannya dia akan digorok oleh pedangnya itu.

Dua hari sebelum pulang ke tanah air, saya bersama Pak Mallawa, sepakat menginap di Masjidil Haram yang terakhir kalinya.

Saya berdua tiba sebelum masuk waktu magrib. Dari kejauhan saya lihat polisi menutup semua akses masuk ke depan Baitullah di lantai dasar.

Mulai petang saat itu, jumlah jemaah sudah membludak. Maklum, melempar Jumrah sudah selesai di Mina.

Melihat jumlah jemaah haji sudah penuh sesak, kami tetap nekad melangkah masuk. Namun polisi mengarahkan ke lantai 4.

Lantai 2 dan lantai 3 sudah penuh juga. Lantai 4 itu lantai terakhir, diakses melalui tangga eskalator.

Saat tiba di lantai 4, azan Magrib berkumandang, suara azan sangat menyentuh hati, bercampur rasa gembira, 2 hari lagi pulang ke tanah air.

Selesai sholat Magrib, saya diajak Pak Mallawa thawaf.

“Ini kita sudah mau niat thawaf wada ya,” tanya saya ke Pak Mallawa.

“Iya, Pak,” jawabnya singkat.

“Saya dengan penuh harap agar jangan dulu thawaf wada di Baitullah, besok Subuh saja,” saran saya.

“Sebaiknya, kita hanya thawaf sunnat saja,” jawab Pak Mallawa, singkat.

Saya mengangguk, saya sangat lega mendengar jawaban beliau.

Saya berada di samping kanan Pak Mallawa, dia sudah menyiapkan buku panduan haji, berisi doa-doa thawaf.

Saya berdua berjalan menuju lampu hijau sebagai tanda dimulainya thawaf.

“Bismillah, Allahu Akbar,” sambil melambaikan tangan ke arah Ka’bah kemudian mengecup tangan. Begitulah tata cara memulai thawaf sampai tujuh kali mengelilingi Ka’bah.

Pada setiap putaran, saya berbagi peran dengan Pak Mallawa. Dia yang membaca doanya dalam bahasa Arab, setelah itu saya yang membaca terjemahannya.

Pada saat membaca terjemahan itulah, pelan- pelan mata saya terasa lembab sampai terasa menetes di pipi.

Saya melirik Pak Mallawa, ia juga terlihat ikut terharu mendengar terjemahan doa thawaf itu.

Baru empat putaran thawaf, azan isya berkumandang. Sambil azan, semua jamaah tetap thawaf sambil mencari saf untuk tempat sholat isya.

Putaran kelima dilanjutkan setelah usai sholat isya sampai selesai putaran ketujuh.

Mengakhiri thawaf malam itu, saya bersama Pak Mallawa, menuju ke arah depan pintu Multazam untuk sholat dua rakaat dan menutupnya dengan doa.

Selesai berdoa, saya mengintip ke lantai dasar, di depan Ka.bah, jumlah jamaah masih tetap berjubel.

Kami putuskan tidur di lantai 4 di bagian belakang, ada tempat berteduh, tidak seperti di bagian luar, hanya beratap langit.

Sekitar Jam 02.00 dini hari, Pak Mallawa membangunkan saya untuk sholat tahajjud. Setelah itu barulah kami mulai berniat thawaf wada, mohon pamit.

Lima putaran thawaf, azan menjelang masuk waktu sholat subuh berkumandang. Kami putuskan ke toilet karena semalam suntuk belum buang air kecil.

Keluar dari toilet, rupanya pintu ke lantai dasar di depan Ka’bah sudah dibuka. Momen itu kami manfaatkan melangkah masuk ke depan Ka’bah melanjutkan dua putaran yang tersisa sebelum masuk sholat subuh.

Usai sholat subuh, matahari pagi sudah mulai bersinar. Pak mallawa mengajak saya sholat sunat thawaf di bagian belakang selurus pintu Multazam.

Setelah itu melangkah lagi ke sejajar Hijir Ismail. Kami mengawalinya dengan sholat dhuha kemudian berdoa terakhir dan minta pamit.

Belum lama dua telapak tangan menengadah ke langit, air mata saya tak henti meleleh di pipi.

Saya sungguh baru merasakan nikmatnya berdoa di depan Ka’bah setelah memohon pamit seraya memohon pula pertolongan-Nya.

Mengarungi hidup yang penuh tantangan dan dinamika setelah di tanah air. Doa-doa terbaik di momen itu tercurah teratur.

Sejujurnya baru pada pagi itu saya merasakan getaran spritualitas berdoa di depan Baitullah.

Sebelumnya saya juga pernah merasakan getaran doa yang sangat bermakna ketika saya berdoa di samping mimbar Masjid Quba.

Masjid yang disinggahi Rasulullah sebelum rombongannya tiba di Kota Madinah.

Saya dan Pak Mallawa, mengakhiri thawaf. Lalu menatap Ka’bah, sambil meneguk air zam-zam. Selamat jalan Baitullah.

Alhamdulillah jamaah haji keloter 4, semua pulang dalam keadaan sehat dan bertemu kembali dengan keluarganya. Semoga kelak, pembaca mendapat panggilan Allah ke Tanah Suci.(*)

__Terbit pada
17 Juli 2023
__Kategori
Culture