Tertinggal Rombongan ke Jumerat

Oleh : Ibrahim Fattah

Perjalanan spiritual saya ke Jumerat atau tempat melempar jumrah juga luput dari tulisan saya. Alasannya sama seperti tulisan kemarin, laptop saya simpan di hotel.

Pakaian saja, jamaah haji dihimbau agar cukup membawa secukupnya, maksimal 2 pasang karena akan mengalami situasi berjalan kaki pada saat dari tenda Mina ke tempat pelemparan jumrah atau Jumerat.

Pagi hari setelah pulang dari mabit atau menginap satu malam di Muzdalifah, praktis tidak ada kegiatan selain istirahat total di tenda Mina untuk mempersiapkan tenaga berjalan kaki ke tempat pelemparan jumrah.

Setelah makan siang dan sholat jama’ qasar dhuhur-ashar, pembimbing haji, Pak Hamka Bukhari, mengumumkan bahwa jadwal ke Jumerat sekitar petang.

Kegiatan melontar jumrah merupakan rangkaian terakhir dari kegiatan wukuf di Arafah.

Menjelang magrib, jamaah haji keloter 4 Parepare -Bulukumba, bersiap-siap berangkat menuju tempat pelemparan jumrah, berjalan kaki sekitar 4 km.

Barisan disiapkan, saya berada di barisan yang agak di belakang. Aturan main yang disepakati, ikuti pembawa bendera.

Langkah demi langkah terlihat jika tenaga jamaah haji sudah pulih kembali setelah seharian beristirahat.

Baru sekitar 500-an meter setelah rombongan keloter 4 meninggalkan tenda, tiba-tiba ada jamaah haji Parepare yang berhenti di tempat dan meminta segera dipapah.

Posisi saya masih sekitar 20-an meter dari kejadian tersebut. Saya mempercepat langkah saya agar bisa lebih dekat.

Tolong saya pak, tolong saya pak, kepala saya pusing. Kata ini, berulang disampaikannya.

Jamaah yang lain sudah berjalan sesuai arah pembawa bendera.

Saya dan beberapa jamaah laki-laki yang masih tersisa dari rombongan, mencoba membawa ibu itu ke pinggir jalan, saya dudukkan ibu itu di trotoar.

Di tempat yang sama, ada juga jamaah laki-laki ditemani istrinya dari Jawa yang mengalami kasus yang sama, tidak bisa melanjutkan perjalanan ke Jumerat.

Saya telepon tim medis, teleponnya tidak aktif. Saya telepon pembimbing haji, Pak Hakim Bukhari. Dia menyarankan agar jamaah tersebut diantar pulang ke tenda melalui bantuan polisi.

Saran itu sulit dilakukan karena situasi jalan raya menuju dan pulang tenda sangat padat merayap, lautan manusia. Hanya mobil ambulance dan mobil polisi yang bisa melintas.

Saya mencoba memberi pertolongan pertama dengan minyak kayu putih. Pelan-pelan saya lihat dia sudah mulai siuman.

Barulah saya bisa menanyakan apa yang dirasakan barusan. Mata saya tiba-tiba berkunang- kunang pak dan betis saya juga tiba-tiba terasa perih.

Rupanya sewaktu makan siang di tenda, dia tidak makan banyak dan kakinya baru saja sudah dioperasi.

Melihat situasinya yang sudah agak membaik, saya melangkah ke tengah jalan untuk melihat bendera pink-hijau sebagai penanda jamaah Parepare-Bulukumba, sudah menghilang dari penglihatan saya.

Saya kembali lagi ke jamaah yang sakit itu. Ibu yang dari Jawa itu menawarkan diri mau mengantar pulang ke tenda maktab 14 keloter 4 jika suaminya sudah kuat berjalan.

Saya mau lanjut ke Jumerat ya, kata saya pada ibu itu. Pak tolong wakilkan saya melempar, ini batu saya.

“Siapa namata?”
“Nurhedah,” jawabnya singkat.

Saya tinggalkan di sini ya, saya mau berjalan menyusul ke Jumerat, saya jelaskan maksud saya, dia mengangguk.

Saya memberanikan diri berjalan menyusul meski hanya seorang diri.

Di tengah perjalanan saya baru sadar jika ternyata saya salah jalur, saya belok kanan masuk ke terowongan.

Beruntung ada petugas haji Indonesia yang menuntun saya ke jalur yang tepat.

Meski resikonya putar balik, yang penting saya bisa tiba di Jumerat, kata saya dalam hati. Saya berhasil melempar jumrah seorang diri. Saya pulang ke tenda juga seorang diri.

Alhamdulillah jamaah haji keloter 4, semua pulang dalam kedaan sehat dan bertemu kembali dengan keluarganya.

Semoga kelak, pembaca menyusul dipanggil pula oleh Allah datang ke tanah suci. (*)

__Terbit pada
12 Juli 2023
__Kategori
Culture