
Mabit di Muzdalifah, Padang Terbuka Beratap Langit
Oleh : Ibrahim Fattah
Perjalanan spiritual mabit atau bermalam di Muzdalifah luput dari tulisan saya sewaktu masih di tanah suci. Setidaknya dua penyebab utamanya.
Pertama, saya sengaja tidak membawa laptop ke Padang Arafah agar saya fokus mengikuti rangkaian wukuf.
Kedua, setelah pulang dari tenda Mina menuju hotel, sekujur tubuh terasa capek yang luar biasa.
Tujuan semalam di Muzdalifah yaitu mengambil batu kerikil buat digunakan melempar jumrah di Mina.
Turun dari bus, jamaah haji disambut dengan pemberian batu kerikil dalam bungkusan ukuran kecil, sekitar 70-an biji.
Sedangkan jamaah haji beberapa tahun sebelumnya, memungut sendiri batu kerikil. Itulah perubahan peradaban, semakin ke sini semakin efektif.
Di Muzdalifah, sepanjang mata memandang, kita hanya melihat padang luas.
Fasilitas yang disiapkan hanya karpet tanpa ada tenda, duduk berkumpul atau tidur-tiduran beratap langit.
Jamaah berkumpul berdasarkan nomor maktab dan kloternya. Di karpet itulah jamaah haji beristirahat menunggu Subuh sebelum diangkut bus ke tenda Mina.
Seorang teman jamaah haji Parepare, sedikit penasaran, kenapa ya Muzdalifah tidak disebut padang muzdalifah?, padahal jelas-jelas lokasinya berada di padang luas. Wallahualam bissawwab.
Sekitar pukul 01 dini hari, saya terbangun, saya lihat jamaah Parepare-Bulukumba sebagian masih duduk dan sebagian terbaring.
Saya beranjak meninggalkan tempat menuju toilet dan berwudhu, antriannya lumayan panjang.
Dalam perjalanan pulang menuju tempat berkumpulnya kloter 4, dimana sebelumnya saya tidur, jamaah sudah pada antri berdiri.
Tas pakaian dan tas jinjing saya pun sudah tidak dapat saya tandai dimana posisinya. Saya melangkah pelan sambil mencari dua tas itu.
“Siapa yang lihat tas saya?”
Bingung dan sedikit agak panik, saya terus melangkah akhirnya saya menemukan kedua tas itu.
Ada jamaah nyeletuk, “bapak dari mana?”
“Mungkin maksudnya, jamaah lain sudah lama berdiri, kok baru muncul?”
Saya betul-betul tidak pernah memperkirakan jika secepat itu jamaah sudah antri menuju tempat penjemputan bus.
Ketika itu saya perkirakan waktu pukul 02-aan dini hari.
Sekitar satu jam berdiri antri, saya lihat jamaah yang paling di depan dengan tanda syal warna pink dan syal warna hijau sebagai bendera jamaah Parepare-Bulukumba, tidak bergerak.
Waktu sudah menunjukkan pukul 3 dini hari. Saya berinisiatif keluar dari antrian sambil mencari tempat untuk duduk bersila.
Biar saya antrian paling terakhir naik bus, bisik saya dalam hati.
Inisiatif itu saya lakukan untuk menghindari antrian panjang. Sekitar lebih 1 jam duduk bersila, azan subuh pun terdengar.
Wudhu saya sudah batal karena sebelumnya sudah buang angin.
Tempat wudhu hanya sekitar 200 meter dari tempat duduk saya tetapi untuk mencapainya, harus melewati antrian panjang sedang pada saat yang sama jamaah sedang menunggu bus.
Tayammum sebagai solusinya. Saya berinisiatif azan, ada sekitar 4 jamaah di sekitar saya.
Usai sholat sunnat fajar, saya didaulat sebagai imam. Tidak banyak waktu bagi saya menolak permintaan itu karena sedang menunggu bus.
Selesai salam, saya memimpin takbir diikuti 4 jamaah yang saya tidak kenal, pelan-pelan saya merasakan mata saya terasa berkaca-kaca.
Tidak lama setelah saya selesai memimpin takbir, bus nomor 14 pun tiba.
Nomor 14 itu bermakna maktab 14, lokasi tenda jamaah haji, salah satunya kloter 4 Parepare-Bulukumba.
Setiap maktab bertugas mengorganisir penjemputan bus, namun sebagian jamaah tidak sabaran menunggu. Bisa dimaklumi karena antriannya sejak pukul 01 dini hari.
Teriakan Bajuri, Bajuri mana busnya. Pak Bajuri, salah seorang pengelola maktab 14 yang subuh itu sibuk mengurus penjemputan jamaah keloter 4 dari Muzdalifah menuju tenda Mina.
Sekitar pukul 5 subuh, jamaah Kloter 4 secara berangsur-angsur dijemput bus nomor 14. Target saya tercapai, saya masuk rombongan terakhir yang naik ke bus nomor 14.
Tragisnya ada jamaah daerah lain nanti dijemput pada jam 8 pagi, bisa dibayangkan bagaimana panas yang dirasakan jamaah tersebut menunggu bus di Muzdalifah.
Padang luas tanpa tempat berteduh, beratap langit. Atmosfir udara muzdalifah sangat panas untuk ukuran orang Indonesia.
Tetapi semua masalah ada solusinya, semua jamaah tiba di tenda Mina, meski ada yang kepanasan.
Alhamdulillah jamaah haji kloter 4, semua pulang dalam keadaan sehat dan bertemu kembali dengan keluarganya.
Semoga kelak, pembaca menyusul dipanggil Allah datang ke tanah suci-Nya. (*)
Foto jemaah haji di Musdalifah (islam.nu.or.id)