JALAN BERLIKU MENUJU GUA HIRA

Oleh : Ibrahim Fattah

Gua Hira sudah saya niatkan untuk mengunjunginya jauh sebelum saya berangkat ke tanah suci. Terlebih setelah saya tiba di Makkah, Gua Hira selalu menjadi target untuk saya kunjungi.

Gua Hira terdapat di puncak gunung atau Jabal Nur, tempat Rasulullah menerima ayat pertama dalam Al-Qur’an yaitu Iqra. Iqra terdapat di dalam surah Al-Alaq ayat 1. Iqra artinya bacalah.

Setelah tiba di Makkah, saya berusaha mencari teman jamaah haji yang juga mau ke Gua Hira. Pak Arifin Wahid, jamaah pertama yang memberi respon.

Beberapa hari kemudian, Pak Saiful Mahsan, ketua kloter 4, menyusul memberi kabar jika dia juga bersedia. Jamaah yang lain, sebagian memberi jawaban menggantung “nanti saya lihat”.

Pak Arifin sangat serius ke Gua Hira, beliau bahkan berinisiatif membuat grup whatsapp yang diberi nama Grup Gua Hira.

Pak Arifin mengundang jamaah laki-laki bergabung. Dalam hati, saya sudah optimis jika niat saya itu bakal terwujud.

Sambil jamaah haji aktif ke Masjidil Haram, saya selalu mencari momen yang tepat untuk berangkat bareng- bareng ke Gua Hira.

Namun rencana ke Gua Hira itu tidak semudah yang saya bayangkan. Selalu berhadapan dengan urusan lain yang juga sangat penting.

Saya mulai tidak sabaran dengan penundaan beberapa kali ke Gua Hira, terlebih jadwal wukuf juga sudah dekat.

Bahkan ada himbauan agar jamaah haji tidak lagi ke Masjidil Haram agar menyiapkan tenaga untuk kegiatan di Padang Arafah, Musdalifa dan Mina.

Ketidaksabaran saya itu semakin memuncak dua hari sebelum kebijakan bus shalawat berhenti mengantar jamaah haji ke Masjidil Haram.

Saya mau memanfaatkan momen itu dan memilih risiko berangkat seorang diri saja. Saya pamit dengan teman satu kamar.

Saya memohon doanya. Namun dalam perjalanan saya ciut sendiri dan akhirnya saya memilih ke Masjidil Haram.

Usai rangkaian wukuf, rencana ke Gua Hira, sulit saya bangun komunikasi dengan teman jamaah lainnya.

Jamaah rata-rata merasakan capek yang luar biasa. Betis terasa membatu setelah selesai jalan kaki dari tenda Mina ke tempat pelemparan jumerat, bolak-balik sekitar 7 km.

Berjalan kaki selama dua kali perjalanan, total jarak yang ditempuh sekitar 14 km.
Tiba di hotel, dibutuhkan minimal satu hari untuk memulihkan rasa capek.

Sementara masih ada dua agenda wajib yang harus dilaksanakan oleh jamaah haji sebelum pulang ke tanah air.

Yakni thawaf ifadah ditambah sa’i dan thawaf wada atau thawaf minta pamit ke Baitullah.

Semuanya ini juga butuh tenaga untuk melaksanakannya. Sedangkan waktu semakin terbatas.

Sehari menjelang pulang pulang ke tanah air, akhirnya rencana kunjungan ke Gua Hira baru bisa terealisasi.

Jamaah yang siap berangkat empat orang, saya sendiri, Pak Arifin dan Pak Saiful Mahsan serta satu jam sebelum berangkat, Pak Mallawa juga menyatakan bersedia bergabung.

Mendengar komitmen tiga teman jamaah tersebut, dalam hati saya merasakan kegembiraan. Saya tidak peduli jika Gua Hira itu berada di ketinggian kota Makkah.

Alhamdulillah jamaah haji kloter 4, semua pulang dalam keadaan sehat dan bertemu kembali keluarganya.

Sedangkan jamaah Bulukumba, satu orang berpulang ke Rahmatullah, semoga almarhum dilapangkan kuburnya, diampuni semua dosanya dan diterima semua amalnya selama hidup di dunia.

Semoga kelak, pembaca menyusul dipanggil pula oleh Allah datang ke tanah suci. (*)

__Terbit pada
9 Juli 2023
__Kategori
Culture, ESAI