Haji Reguler Rasa Haji Plus
Ibrahim Fattah Melaporkan dari Mekkah
Tulisan saya sebelumnya, berjudul Pendalaman Tata Cara Wukuf dan Maknanya. Ada seorang keluarga dekat saya yang meresponnya.
Beliau mengirimkan simbol menangis sebagai refleksi atas layanan bimbingan haji yang diterima haji reguler.
Beliau berangkat haji pertama tahun 2001 (regular), tidak didampingi pembimbing haji sehingga hasilnya tidak maksimal.
Begini refleksinya. Kasian haji reguler, pembimbingnya tidak berpengalaman seperti yang ku alami tahun 2001.
Malah saya tidak tahu kalau Ka’bah itu ada di dalam Masjidil Haram dan waktu wukuf ya begitu aja, baca buku panduan, diam, duduk saja.
Malah ada yang sampai tiduran saja. Makanya saya kembali naik haji plus tahun 2010. Terasa sekali perbedaannya.
Judul tulisan hari ini, selain saya terinspirasi dari refleksi keluarga saya itu. Saya juga bertemu dan berdialog kemarin siang sekitar 10 jamaah haji asal Bima, duduk berkumpul di Masjidil Haram, sedang bingung.
Meraka selesai thawaf tetapi tidak lanjut sa’i, mereka tidak ada pembimbing. Mereka juga tidak tahu pulang ke hotelnya. Mereka seperti orang terlantar.
Bapak bisa bimbing kami thawaf ya. Kata salah seorang ibu di dekat saya, umur ibu itu sekitar 70-an asal Bima itu kepada saya.
Saya juga jemaah haji bu, saya juga belum kuasai rangkaian bacaan zikir dan doanya. Kata saya mengelak dengan alasan yang jujur.
Spontan saya berfikir, apa yang saya bisa kontribusikan kepada mereka?.
Saya chat saja Pak Syaiful Mahsan, ketua kloter 4 Parepare-Bulukumba. Pikiran saya, sesama petugas haji, tentu ada link-jejaring diantara mereka agar ibu-ibu itu bisa dibantu pulang ke hotelnya.
Lalu apa hubungannya dengan Haji plus? Mereka disiapkan pembimbing profesional.
Tulisan saya hari ini, tidak mengulas tentang fasilitas yang diterima jemaah haji plus karena bukan konteks itu yang ingin saya kemukakan.
Tetapi saya akan mengulas tentang peran penting pembimbing bagi jamaah haji. Terutama setelah jemaah ingin melanjutkan umrah berikutnya.
Haji regular, pemerintah hanya memfasilitasi pendampingan pada umrah pertama, itupun tidak menyiapkan pembimbing haji.
Tugas pemerintah begitu banyak sehingga untuk urusan ini bisa dimaklumi.
Berkolaborasi dengan pembimbing haji yang resmi, merupakan solusi untuk mengatasi keterbatasan pemerintah dalam mendampingi jemaah yang beragam latar belakangnya.
Pendampingan itu terutama sangat diharapkan pada ritual thawaf dan sa’i di Masjidil Haram.
Wukuf di Padang Arafah dan melempar jumrah di Mina serta thawaf wada menjelang pulang ke tanah air. Demikian juga untuk menfasilitasi pemotongan hewan dam serta hewan qurban.
Jamaah Parepare tahun ini, sekitar 80 orang didampingi H. Karlos. Jemaah dibimbing saat thawaf dan sa’i.
Khusus untuk menghadapi wukuf di padang arafah, dibimbing selama dua kali pertemuan. Pendalaman ilmunya sepertinya sudah mendekati jamaah haji plus.
Ilmu tata cara wukuf dan maknanya, bahkan diajarkan langsung dengan praktek.
Inilah alasan saya memberikan judul tulisan saya hari ini, Haji reguler rasa haji plus.
Semoga CJH kloter 4 selalu dalam keadaan sehat selama menjalankan rangkaian ibadah haji.
Kelak pembaca suatu waktu dipanggil pula datang ke tanah suci. Labbaikallah Humma Labbaik… Aku penuhi panggilan-Mu Ya Allah. (*)