“Bid’ah” Pemilu
Oleh : Ibrahim Fattah, Dekan FH UMPAR.
Saya menulis judul “Bid’ah” Pemilu terinspirasi dari
candaan dari sohib di salah satu grup pertemanan Whatsapp. Grup tersebut ramai membahas pro-kontra Bid’ah.
“Coba bahas juga bid’ah,” tulisnya di kolam komentar.
Mengulik masalah Bid’ah saya tahu diri, saya tidak punya ilmu cukup untuk membahas masalah tersebut.
Dari candaan anggota grup tersebut, akhirnya saya menemukan judul “Bid’ah” Pemilu (pakai tanda kutip). Bid’ah artinya amalan ibadah yang tidak pernah dilakukan Rasulullah semasa hidupnya.
Bid’ah itu sesat dan ancamannya adalah neraka. Saya mengutip Hadits yang mudah dijumpai di mesin pencari google.
“Dan semua perkara baru adalah kesesatan dan seluruh kesesatan di neraka” (HR An-Nasaar No. 1578).
Saya lebih senang dengan pengertian lebih sederhana tentang Bid’ah, yaitu menambah-nambah ibadah (mahdah) yang tidak pernah dilakukan Rasulullah.
Pro-kontra tentang Bid’ah sejak dulu hingga sekarang masih terus terjadi. Era sebelum tahun 90-an, Muhammadiyah lebih getol menda’wakan agar umat dijauhkan dari Bid’ah. Dakwah itu dikenal dengan gerakan melawan TBC, Taqlid, Bid’ah dan Churafat.
Tetapi, saat ini Muhammadiyah mulai meninggalkan tema Bid’ah ini dan beralih pada tagline Islam Berkemajuan.
Pro-kontra Bid’ah berkisar tentang ada satu pihak menyatakan amalan itu Bid’ah dan pihak lainnya menyatakan bahwa amalan itu masuk kategori Bid’ah Hasanah atau Bid’ah yang baik.
Contohnya peringatan Maulid, tradisi masyarakat Bugis ketika Maulid, ada batang pisang di dalam Masjid yang ditancapkan telur rebus dan ada makanan dari beras ketan yang disebut “sokko”.
Kata kunci pengertian Bid’ah di atas adalah ada amalan baru atau ada amalan yang ditambah dari amalan. Rasulullah.
Kembali ke judul tulisan saya, patokan Pemilu di Indonesia adalah pada tanggal 29 September 1955. Setelah itu beralih ke orde baru dan Pemilu tetap dilaksanakan setiap lima tahun. Puncaknya parpol difusi menjadi tiga parpol (PPP, PDI dan Golkar).
Terlepas dari kekurangan orde lama maupun orde baru dalam urusan demokrasi khususnya yang berkaitan dengan rekruitmen calon anggota legislatif pada setiap pemilu, tidak ada catatan sejarah tentang politik uang.
Meski sejarah juga mencatat bahwa pemerintah orde baru mengintervensi proses Pemilu. Demokrasi tidak sehat, rakyat ditekan untuk memilih Golkar.
Tantangan demokrasi (substantif) pada era orde baru jauh lebih berat. Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun dan selalu berjalan lancar serta terkendali.
Sistem pemilu digunakan adalah sistem tertutup. Nomor urut caleg menentukan keterpilihannya, pengurus parpol lebih berpeluang terpilih.
Lalu kenapa di era orde reformasi ini Pemilu dan Pemilukada identik dengan politik uang. Padahal baik pada orde lama maupun pada orde baru, praktik tersebut tidak menjadi variabel utama.
Berarti ada pihak atau oknum membuat “amalan” baru atau sengaja melakukan “Bid’ah” dalam kontestasi pemilu dan pemilukada sejak era reformasi. Ironis memang tapi itulah realitas demokrasi kita saat ini. Wallahualam bissawab
Menurut pembaca siapakah pihak atau oknum pelaku “Bidah” Pemilu itu di era orde reformasi ini?. (*)
Ilustrasi Pemilu (KPU)