SAFEGUARDING INKLUSI MENUJU ZERO TOLERANCE
Oleh : Ibrahim Fattah.
Bergerak menuju tata kelola yang lebih baik. Ingin menemukan cahaya yang terlihat jelas dan merasakan atmosfer lembaga yang dihuni pengabdi yang dipercaya.
Pertemuan lembaga mitra kali ini dilaksanakan Inklusi-DFAT. Pesertanya adalah Direktur Lembaga dan Pengurus Yayasan.
Aspek yang adalah internalisasi penerapan prinsip zero tolerance, komitmen, pengaturan prilaku individual dan pananganannya.
Semua lembaga mitra dan sub mitra harus menganut prinsip Zero Tolerance. Prinsip tersebut dituangkan menjadi Kebijakan Pencegahan dan Penanganan Eksploitasi, Kekerasan, dan Pelecehan Seksual (PSEAH).
Selain itu dituangkan menjadi Kebijakan Pencegahan dan Penanganan Perlindungan Anak dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi.
Dijadikan sebagai Kebijakan Pencegahan dan Penanganan kasus Fraud atau kecurangan dalam pengelolaan keuangan dan kegiatan lembaga.
Secara formal pengaturan Zero Tolerance dalam tiga prilaku individual di atas bagi lembaga mitra BaKTI sudah diatur sebagai kebijakan lembaga.
Pengaturan Zero Tolerance yang dipersyaratkan ketika BaKTI melakukan assesmen kepada semua calon sub mitra yang tersebar di tujuh daerah.
BaKTI salah satu mitra utama Program Inklusi di level nasional yang berperan sebagai lembaaga payung bagi sub mitranya.
Salah satu sub mitra BaKTI di Kota Parepare, yaitu YLP2EM. Kegiatan ini dilaksanakan selama dua hari, tanggal 22 – 23 Agustus di Hotel Novotel Makassar.
Tim fasilitator yang memfasilitasi proses diskusi berasal dari Remdec Jakarta. Nara sumber untuk tiga aspek yang dibahas juga berasal dari Jakarta, salah satunya Mas Ade, pernah bekerja di ICW.
Diantara tujuah orang tim dari Jakarta, saya kenal dua orang yaitu Mas Ade, saya kenal sebagai aktivis Indonesian Coruptin Watch (ICW) dan Ibu Zumrotin, mantan Direktur YLPKI.
Secara normatif dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Tahun 2014, disebutkan bahwa Perlindungan Anak adalah :
Segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Tindakan yang dapat dinyatakan sebagai Fraud, cakupannya sangat luas. Mas Ade menjelaskan bahwa Fraud itu lebih luas dari korupsi.
Beberapa cakupannya yaitu pencurian, keuntungan finansial dengan penipuan, menyebabkan kerugian, memberi informasi palsu, membuat dokumen palsu, menyuap, korupsi atau penyalahgunaan jabatan.
Masih banyak tindakan lain yang dapat dinyatakan sebagai Fraud. Perbuatan Fraud itu bukan hanya terkait pertanggungjawaban anggaran tetapi juga termasuk pertanggungjawaban kegiatan.
Kekerasan dan pelecehan seksual sebagai bagian dari perlindungan HAM, sudah diatur dalam hukum internasional. Indonesia baru saja mensahkan UU No. 12 tahun 2022 Tentang TPKS.
Secara khusus diatur di dalam Pasal 4 dan Pasal 5. Cakupannya sangat luas, diantaranya pelecehan seksual nonfisik dan fisik, pemaksaan kotrasepsi, penyiksaan seksual, perbudakan seksual.
Ibu Lusi Palulungan menambahkan bahwa untuk kasus kekerasan seksual, tidak berlaku azas hukum satu saksi bukan saksi. Cukup keterangan saksi korban ditambah hasil visum atau keterangan psikolog.
Tiga prilaku tersebut, jika terjadi pada lembaga mitra utama, maka semua sub mitranya akan ikut diberhentikan pula kerjasamanya dalam Program Inklusi
Namun jika yang melakukan pelanggaran hanya pada lembagaa sub mitra, maka hanya lembaga yang bersangkutan saja yang akan diberhentikan kerjasamanya.
Meski sudah ada kebijakan yang mengatur tentang pencegahan perlindungan anak, kekerasan seksual dan Fraud.
Kebijkan saja tidak cukup tetapi harus ada mekanisme penanganannya.
Jika terjadi pelanggaran di dalam lembaga, siapa yang diberikan otoritas mengambil tindakan sampai pada mengambil keputusan, jadi ada semacam hukum acaranya sehingga kasus itu selesai.
Menjelang acara berakhir, fasilitator meminta peserta berkumpul sesama lembaga untuk mendiskusikan kebijakan apa yang harus dilakukan untuk memastikan tiga hal itu bisa diatur di dalam SOP lembaga.
Fasilitator meminta tiap lembaga merumuskan siapa yang mengawal kebijakan perlindungan anak, kekerasan seksual dan fraud dan apa yang dilakukan agar kebijakan itu berjalan efektif.
Saya, Pak Amin dan Pak Najib, mengambil posisi meja di bagian belakang. Saya bertiga sepakat menulis dalam bentuk matriks agar mudah dipahami tahapan dan pembagian peran pihak yang diberikan tugas.
Hasil diskusi tim YLP2EM merumuskan tujuh poin yaitu 1) Merevisi SOP, 2) menyusun mekanisme penanganan kasus, 3) internalisasi kepada semua organ Yayasan dan staf lembaga.
4) ada mekanisme penanganan kasus, 5) Sosialisasi kepada kelompok dampingan, 6) publikasi media, dan 7) pelatihan pelaksanaan kebijakan pencegahaan dan penaganan tiga aspek tersebut.
Pihak yang mengawal pelaksanaan kebijakan itu di YLP2EM agar kebijakan itu berjalan efektif, tugas ini diberikan kepada Direktur dan secara teknis dibentuk Focal Point untuk setiap kegiatan.
Fasilitator meminta setiap lembaga berkeliling berkunjung ke lembaga lain untuk sharing terhadap rencana tiap lembaga.
Direktur bertugas menerima “tamu” dari lembaga lain untuk menjelaskan apa yang akan dilakukan setelah tiba di daerah.
Tatakelola yang baik dan penuh cahaya serta atmosfer lembaga yang dipercaya adalah mimpi yang harus segera direalisasikan dimulai tahun 2022 ini. (*)