Berperan Bukan Baperan

Pewaktu menunjukkan 00.00, Sabtu, dini hari, (6 Agustus 2022), mata tak mau diajak tidur. Tuan Guru meraih laptop putih yang sudah butut tersimpan di rak buku.

Menginput hasil kerja mahasiswa melalui sistem informasi (sisfo) kampus, berharap mata, segera mau tertidur.

Memasukkan nilai  tugas menulis mandiri dan kelompok,  ujian tengah semester, serta ujian akhir semester mahasiswa.

Tugas menulis mandiri kali ini, mahasiswa merancang sebuah liputan terkait isu-isu lingkungan hidup sekitar.

Alhamdulillah, tulisan itu berisi ajakan agar masyarakat hidup bersih dan menjaga lingkungan. Berharap, bisa menjadi kampanye merawat dan melestarikan lingkungan.

Sedangkan, tugas menulis kelompok, mahasiswa merancang liputan, melakukan survei, dan menuliskan dalam bentuk feature news tentang bahaya sampah bagi kesehatan.

“Bertaruh Nyawah dengan Sampah,” begitu judul salah satu tulisan mahasiswa Jurnalistik Islam, IAIN Parepare.

Tak terasa, pewaktu menunjukkan pukul 01.00, hasil perkuliahan selama satu semester diumumkan melalui sisfo, sambil meminta mahasiswa merespon angka-angka itu. Maklum tugas mahasiswa dikirim via email, terkadang gagal terkirim.

“Tabe Pak, tugas saya sudah dikirim,” chat mahasiswa via WA. Ternyata masih ada yang belum tidur, mengirim ulang tugasnya disertai screenshot tanggal pengiriman.

“Mampir di warung kopi mungkin,” membalas chat mahasiswa disertai emotion tertawa, sambil mengecek pesan masuk di spam. Hem, banyak kiriman file di spam.

Kemudian, meminta mahasiswa menuliskan satu atau dua point penting untuk perbaikan perkuliahan semester berikutnya.

“Saya minta satu atau dua point untuk perbaiki perkuliahan Jurnalistik Lingkungan Hidup di tahun depan.”

Saya sadar perkuliahan selama 16 kali pertemuan secara online dan offline itu, ternyata saya sering menyampaikan istilah-istilah unik, seperti potong kumisku,  kalau kalian bisa nulis, tetapi malas membaca.

Saya juga sering sampaikan bahwa mengangkat tema penelitian itu yang sederhana, bisa diukur, menggunakan metodologi, dan bisa dikerjakan.

“Skripsi yang baik itu, skripsi yang selesai. Belum ada skripsi yang mengguncang dunia,” kataku mengutip istilah dosen saya di saat masih kuliah.

Cerita-cerita itu, terkadang lebih melekat di memori mahasiswa, dibanding materi yang disampaikan saat perkuliahan. Berharap perkuliahan lebih nyaman, santai, dan merawat akal sehat.

Lalu menuju peraduan. Di pagi hari,  smartphone saya berbunyi. Mahasiswa mengirimkan saran perbaikan perkuliahan di masa mendatang.

Mahasiswa itu, meminta agar penugasan liputan dan menulis, bukan sekadar wawancara, tetapi riset mendalam untuk mengetahui isu lingkup lingkungan terkini. Menulisnya lebih mendalam dan lengkap.

Sebelum pandemi Covid-19 mendera, mahasiswa berhasil menulis esai dan dibukukan. Judul buku Samina Wa Athona. Berharap karya mahasiswa dengan lingkungan hidup ini bisa dibukukan.

Selama tiga tahun terakhir, berusaha menularkan praktik baik. Menulis bertutur. Nah, mengapa harus menulis? Tugas mahasiswa dan pendidik tidak melulu berceramah, di ruang kelas.

Pendidik diberikan tanggung jawab, menyiapkan skil atau keterampilan mahasiswa dan siswa agar berperan, bukan baperan di masa depan.

Salah satu upaya peningkatan keterampilan meriset, menulis, dan publikasi. Banyak orang merasa menulis itu sulit. Sulit memulai dari mana.

Saya menularkan pengalaman lewat seminar, workshop, dan webinar. Selain itu, membuka kelas menulis di Whatshapp grup. Tempat berbagi tips dan contoh tulisan simpel.

Beberapa karya sudah terbit dalam bentuk buku, tulisan bercerita (jurnalisme bertutur) bisa dibaca di portal tuturkata.com.

“Jika engkau bukan anak raja, dan engkau bukan anak seorang ulama besar, maka menulislah,” nasihat Imam Syafii.(*)

__Terbit pada
7 Agustus 2022
__Kategori
Culture, Lifestyle
1

One comment on “Berperan Bukan Baperan”

Komentar ditutup