UMPAN BALIK DRAFT DESAIN PROGRAM INKLUSI BaKTI

Oleh : Ibrahim Fattah, Direktur YLP2EM.

Agenda hari ketiga atau hari terakhir, Jumat, 22 Juli 2022, diawali dengan ice breaker bermain sekoci. Suasana pagi itu membawa peserta larut tertawa sambil berlarian mencari sekoci dalam lingkaran, sesuai jumlah penumpang yang diintruksikan peserta yang terhukum.

Pagi kemarin, saya agak terlambat masuk ruangan, peserta sudah berdiri melingkar, saya mengambil posisi tanpa tahu menahu apa yang sedang terjadi.
Pak Gufron menjadi orang terhukum dan memberi intruksi kapal sedang menuju Pelabuhan Larantuka, kapal oleng maka segera naik sekoci 9 orang.
Berlarianlah peserta mencari peserta lainnya disertai tawa mengocok perut sambil berpegangan tangan dan harus berjumlah 9 orang. Jika ada orang ke 10 atau lebih, maka orang itu ditolak masuk dalam sekoci, dia harus mencari sekoci lain yang orangnya belum berjumlah 9.

Permainan sekoci mengawali sesi pagi. Sesi pagi diantar fasilitator bahwa hari ini, kita refleksi hasil kemarin dan meminta umpan balik teman-teman, sambil saya menyimaknya, barulah saya menghubungkannya dengan ice breaker bermain sekoci yang barusan selesai.

Sesi pagi di hari terakhir, Jumat, 22 Juli 2022, agendanya sudah semakin berat karena hasil diskusi kelompok kemarin (baca: hari kedua) tentang pernyataan Capaian Akhir dan Capaian Antara serta Kegiatan yang telah diidentifikasi pada 5 aktor (Pemda, DPRD, Media, Kelompok Konstituen, dan Perguruan Tinggi).

Sudah ditulis dalam kertas metaplan dan ditempel secara berjejer satu baris, disamping kanan ditempelkan kertas metaplan secara berjenjang (level) yaitu Capaian Akhir, Capaian Antara dan Kegiatan.

Di atas jejeran 5 aktor, ada metaplan yang berisi informasi tentang fokus layanan yang akan diadvokasi untuk akses bagi kelompok sasaran. Kesemuanya sudah terpajang dengan apik dalam satu media kertas plano sepanjang sekitar 4 meter yang dipajang di dinding ruangan Workshop dengan aneka warna berdas arkan level atau jenjang capaian.

Pada metaplan Capaian Akhir, fasilitator menambahkan metaplan di atasnya dengan kalimat “Kami peduli pada…”, disampingnya terdapat 3 metaplan yang ditempel sejajar dengan kalimat tersebut yaitu metaplan pertama.

“Pemerintah menyediakan layanan sosial yang terjangkau dan berkualitas bagi perempuan, anak, disabilitas dan keluarga rentan lainnya,” isi pesan di metaplan pertama.

Metaplan kedua berbunyi “Perempuan, anak, disabilitas, dan kelompok rentan korban kekerasan mendapat layanan perlindungan”. Metaplan ketiga berbunyi “Menguatnya kolaborasi multi pihak untuk perlindungan dari kekerasan dan pemenuhan hak kelompok rentan”.

Secara pribadi saya takjub melihat hasil dari proses fasilitasi tim fasilitator karena tiga hal, pertama pada level Capaian Akhir, ternyata program Inklusi-BaKTI harus berkontribusi pada 3 dokumen penting yaitu SDGs (global), RPJMN 2020-2024 (nasional) dan EOPO Inklusi (Logeframe Program nasional Inklusi).

Kemampuan fasilitaor memfasilitasi desain program Inklusi-BaKTI secara partisipatif sehingga terbentuk suatu logical framework program Inklusi-BaKTI, ketiga pada aspek seninya, yaitu pemilihan warna metaplan yang sama dalam satu jejer sehingga warnanya apik dan punya nilai seni.

Setelah selesai sesi ini, fasilitator membuka ruang diskusi, klarifikasi dan masukan atau umpan balik dari peserta jika masih ada pernyataan dalam kertas metaplan yang belum pas.

Jam menunjukkan pukul 10.00, Mas Nanda mempersilahkan peserta mengambil snack dan kopi-teh yang sudah tersedia di bagian belakang ruangan Workshop.
Fasilitator meminta persetujaun peserta untuk mengakhiri sesi siang pada pukul 11.30 untuk memberi kesempatan kepada peserta yang mau salat jumat.

Sekira satu jam sebelum istirahat siang, peserta dibagi dalam 2 kelompok diskusi. Sesi ini mendiskusikan tentang Monitoring, Evaluation dan Learning (MEL).

Fasilitator menggali informasi dengan pertanyaan pembuka, siapa dan berapa orang yang melakukan peran MEL di program Inklusi BaKTI?, pertanyaan yang sama untuk lembaga mitra.

Pak Taufan (staf Monev) memberi respon bahwa kalau di BaKTI saya yang melakukan peran MEL, pada saat memberi informasi tersebut, mata Pak Taufan “tertangkap kamera” matanya mengarah ke Ibu Lusi, Mas Nanda pun mencandainya dengan pertanyaan apakah sudah cukup dengan 1 orang dengan 7 lembaga mitra?.

Pak Taufan melanjutkan informasinya bahwa kalau di lembaga mitra BaKTI, staf yang melakukan MEL adalah Koordinator Program dan Program Officer.

Diskusi kelompok tentang MEL, peserta dibagi dalam 2 kelompok. Kelompok 1 mendiskusikan bagaimana melakukan MEL kepada Pemda/OPD, dan Kelompok Konstituen.

Saya bergabung di kelompok 2, mendiskusikan bagaimana melakukan MEL kepada DPRD, Media, dan Perguruan Tinggi sehingga Capain Akhir, Capaian Antara, dan Kegiatan dapat diukur pencapaiannya.

Pada sesi MEL di kelompok 1, diawali dengan merumuskan pertanyaan “sejauhmana mana DPRD menjalankan tupoksinya. Pertanyaan MEL ini diberi catatan kaki pada 3 fungsi DPRD yaitu legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Indikatornya yaitu berapa perda yang sudah inklusif yang ditetapkan sampai pada tahun 2025, berapa banyak anggaran APBD yang dialokasikan untuk kegiatan inklusif. Kelompok ini mengakhiri diskusi pada jam menunjukkan pukul 11.35 dan sisanya akan dilanjutkan setelah makan siang dan sholat jumat.

Selama diskusi kelompok berlangsung, prosesnya cukup dinamis, ada peserta sebagai pemantik ide, ada yang mematahkan argumentasi ide yang ditawarkan dan ada juga yang hanya menyimak.

Beruntung selalu ada kompromi atas perbedaan perspektif terhadap ide-ide yang beragam. Tepuk tangan peserta kelompok 2 sekitar 30 menit sebelum berakhir sesi siang, rupanya hanya sebagai trik untuk mendapat perhatian dari kelompok 1.

Sesi siang setelah peserta kembali masuk ke ruangan, jam menunjukkan pukul 13.30, baik kelompok 1 maupun kelompok 2, masing-masing melanjutkan diskusinya yang belum selesai.

Proses diskusi pada sesi siang setelah ishoma, relatif sudah berlangsung lebih cepat dibandingkan pada sesi pagi karena sudah ada pembelajaran dari diskusi sebelum istirahat siang dan polanya sudah mulai dipahami oleh anggota kelompok. Sayapun ada waktu sesekali mendekat di laptop untuk menulis proses Workshop.

Juri tulis metaplan secara bergantian dilakukan secara sukarela selama proses diskusi kelompok berlangsung. Saya lebih banyak menyimak proses diskusi dan sesekali memberi pendapat.

Ibu Husnah, direktur Rumpun Perempuan Sultra (RPS) Kendari yang lebih sering menawarkan ide dan pada pertemuan kali ini bu dir, demikian panggilan akrabnya dikalangan lembaga mitra BaKTI, kelihatan lebih bijak merespon ketika idenya disanggah, saya perhatikan kali ini bu dir tidak ngotot memaksakan idenya bahwa harus diterima, sebuah kompromi untuk membangun konsensus.

Menyusun perencanaan secara partisipatif di dikalangan LSM sudah cukup lama dikembangkan, sejak diperkanalkannya metode Partisipatory Rural Appraisal, yang lebih familiar dengan singkatannya yaitu PRA.

Metode PRA sendiri sangat beragam tools yang bisa digunakan. Logical framework yang difasilitasi oleh Lembaga Solidaritas Jaakarta pada Workshop Scoping Desain Program Inklusi BaKTI selama 3 hari di Kupang, merupakan bagian dari tools yang menarik dikembangkan di daerah.

Kerja professional melahirkan hasil yang berkualitas, sepintas saya berbisik kepada Frida, staf UDN Kupang atas apresiasi saya kepada tim fasilitator. “keren” kata Frida yang kursinya berada di dekat saya, saya sering memanggilnya mama kembar, anaknya lahir kembar sekitar 3 tahun. (*) Bersambung.

__Terbit pada
24 Juli 2022
__Kategori
Culture