MENGUJI LOGIKA PERUBAHAN DRAFT DESAIN PROGRAM INKLUSI BaKTI DI KUPANG
Oleh : Ibrahim Fattah, Direktur YLP2EM.
Agenda hari kedua, Kamis, 21 Juli 2022, diawali dengan review hari pertama, fasilitator, Mba Ida mengajukan pertanyaan kepada peserta, sebutkan satu kata dari proses diskusi kemarin (baca: hari pertama).
Ternyata menyebutkan satu kata itu bukan perkara mudah karena kebiasaan bertutur untuk menyampaikan suatu informasi bagi kebanyakan orang belum terbiasa.
Saat saya mengacungkan tangan, Mba Ida mempersilakan kepada saya, saya menyampaikan proses kemarin dengan bertutur, Mba Ida mengingatkan cukup “satu kata”.
Sesaat saya agak bingung menyebutkan satu kata itu, akhirnya saya berhasil menyebutkan satu kata ”perkenalan”. Ya pada hari pertama ada sesi perkenalan setelah acara dibuka oleh pak Yusran Laitupa, Direktur Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI).
Metode perkenalan di hari pertama berbeda dengan metode perkenalan yang saya kenal selama ini.
Perbedaannya yaitu setelah peserta menyebutkan nama dan lembaganya serta fokus isunya, dilanjutkan dengan menginformasikan sesuatu yang pernah berkesan atau ada kenangan khusus di masa lalu atau ada kelebihan yang selama ini orang lain termasuk teman kantor atau teman sejawat belum mengetahuinya.
Setiap orang mengawalinya dengan kata “begini-begini” saya itu…. Saat giliran saya, saya memperkenalkan diri, saya menyebutkan nama saya Ibrahim Fattah, asal lembaga YLP2EM.
Lembaga saya fokus pada pemberdayaan masyarakat dan pendorong advokasi kebijakan, “begini-begini”… saya pernah ke pedalaman NTT, Kabupaten Manggarai Timur, Kecamatan Borong, Desa Goloendele, tahun 2017.
Pengalaman saya menginap di Desa Goloendele selama 2 malam, suatu kenangan yang tidak bisa saya lupakan. Ketika itu saya dihayer Kopel untuk memfasilitasi assessmen kepada aparat dan masyarakat desa sebagai bahan menyusun Peraturan Desa tentang Desa Ramah Perempuan.
Saya menginap di Pustu karena rumah warga tidak ada yang punya WC, pengalaman saya di lapangan kalau di Pustu atau Puskesmas itu pasti punya WC.
Pewaktu menunjukkan pukul 09.00, Mas Nanda dan Mba Ida menempelkan beberapa kertas metaplan di kertas plano yang sudah disiapkan sebelumnya.
Kertas metaplan itu berisi ide yang telah dikelompokkan berdasarkan 5 aktor yaitu Pemda, DPRD, Media, Kelompok, Konstituen -Kelompok Rentan, dan Perguruan Tinggi.
Kertas metaplan yang sudah ditulis rapih itu, setelah ditempelkan, fasilitator meminta respon peserta, apakah ide itu sudah sesuai dengan hasil diskusi kemarin atau ada usul perubahan.
Respon peserta cukup dinamis, hasilnya ada ide yang bertahan, ada yang digabung dan ada pula yang dibuang. Setelah disepakati bersama, tampilan kertas metaplan sudah lebih logis dan realistis untuk dicapai.
Inilah yang dijanjikan Mas Nanda pada hari pertama bahwa besok (baca : hari kamis, 21 Juli) ide-ide yang begitu banyak akan “diperas” sehingga jumlahnya lebih sederhana tetapi cakupannya lebih luas.
Ide-ide yang sudah “diperas” itu sebagai titik star untuk menyepakati dan merumuskan 3 level, yaitu Capaian Akhir (level 3), Capaian Antara (level 2) dan Kegiatan (level 1).
Kalimat level 3 dan level 2 diambil dari “saripati” hasil diskusi hari pertama yang berasal dari ide tiap lembaga. Suatu rangkuman yang sungguh menakjubkan saya.
Sampai pada proses ini, peserta berhasil menguji logika yang telah didiskusikan seharian di hari kedua, tanggal 21 Juli.
Fasilitator menangkap kalimat “saripati” capain akhir tahun 2025 yang dirangkum dari proses diskusi sehari sebelumnya.
Perumusan kalimat “saripati” itu dirumuskan oleh tim fasilitator setelah peserta sudah meninggalkan ruangan saat berakhirnya sesi sore.
Saya berkeyakinan bahwa setelah peserta istrahat sore, tim fasilitator masih tinggal bekerja di ruangan untuk merapihkan hasil kerja selama seharian untuk ditampilkan besok pagi.
Pekerjaan yang profesional tim fasilitator terlihat dari hasil “perasannya” terhadap ide-ide yang sebelumnya jumlahnya banyak yang akhirnnya berkurang, begitu juga dengan isinya atau pernyataan kalimatnya jauh lebih berkualitas dibandingkan dengan rumusan pada hari sebelumnya. Demikian juga peserta, telah berhasil menguji logika yang telah didiskusikan sehari sebelumnya.
Saat peserta memasuki ruangan Workshop di pagi hari, tim fasilitator sudah menyiapkan kartu metaplan yang sudah ditulisi kalimat capaian akhir dan capaian antara pada kelima aktor yang diintervensi pada program Inklusi-BaKTI.
Kartu-kartu metaplan itu ditempel di kertas plano di dinding ruangan Workshop yang membentang sekitar 4 meter di lantai 2 yang letaknya berhadapan langsung dengan laut sehingga dibalik kaca jendela ruangan peserta bisa melihat view laut flores dan pasir putihnya yang memanjakan mata.
Peserta dibagi dalam 5 kelompk berdasarkan penguasaan terhadap situasi aktor tersebut. Saya satu kelompok dengan Bung Jemmy (Rumah Generasi Ambon) dan Ibu Suzan (BaKTI), bertugas menganalisis aktor baru dalam program Inklusi, yaitu Perguruan Tinggi.
Dalam Capaian Akhir pada tahun 2025, dirumuskan kalimatnya berbunyi “Perguruan Tinggi menjadi pelopor praktik-praktik inklusif” (level 3).
Tugas setiap kelompok adalah merumuskan Capaian Antara (level 2) sebagai tujuan yang akan menjembatani atau sebagai prasyarat untuk terwujudnya capaian akhir pada tahun 2025.
Kelompok juga bertugas mengidentifikasi dan merumuskan daftar kegiatan (level 1). Kelompok Perguruan Tinggi merumuskan Capaian Antara dalam dua kondisi, yaitu 1. Perguruan tinggi piloting mengintegrasikan kosep inklusi ke dalam tri dharma, dan 2. Perguruan tinggi Piloting memiliki Satgas Pencegahan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) dan berfungsi.
Dua Capaian Antara di atas setelah kami bertiga menganalisisisnya, mas Nanda mengajukan pertanyaan “jika perguruan tinggi sudah mencapai Capaian Antara 1 dan 2, apakah sejumlah kegiatan (level 1) yang telah diidentifikasi itu dapat dengan mudah bisa terwujud Capaian Akhir pada tahun 2025?.
Pertanyaan ini menantang kami bertiga, akhirnya disepakati merumuskan suatu kondisi sebelum terwujud Capaian Antara itu, masih ada satu level Capaian Antara lagi sebelum mencapai Capaian Antara 1 dan 2, kalimatnya dirumuskan ”pimpinan perguruan tinggi paham bagaimana berkontribusi dalam menciptakan masyarakat inklusif”.
Artinya pimpinan perguruan tinggi yang terlebih dahulu paham dan ada kemauan kuat atau berkomitmen untuk menjadikan kampusnya sebagai kampus inklusif.
Apakah Komitmen pimpiann perguruan tinggi sudah cukup?, kegiatan awal adalah perlu diikat dengan MoU antara Direktur BaKTI dengan Rektor dan ditindaklanjuti dengan MoA antara Program Manager Program Inklusi-BaKTI dengan para Dekan.
Unhas digadang-gadang BaKTI sebagai kampus piloting di Kawasan Timur Indonesia sebagai kampus inklusif. Jika piloting ini berhasil, berarti ada peluang direplikasi di kampus lain di lokasi program Inklusi-BaKTI.
Ibu Suzan berharap Universitas Muhammadiyah Parepare (UMPAR) dan Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Maluku, berpeluang menjadi kampus berikutnya untuk menjadi kampus inklusif karena Program Inklusi ada di Kota Parepare dan di Kota Ambon dan secara personal saya dan Bung Jemmy mengajar di kampus tersebut. (*)