Guru Berdifrensiasi, Murid Merdeka Belajar
Cerita ini mungkin tak penting bagi Anda. Bukan cerita politik, bukan pula berita riuh calon presiden 2024. Tetapi, tulisan ini bercerita bakal berakhirnya kurikulum anyar bernama Kurikulum 2013.
Selama delapan tahun, menjadi topik hangat di ruang-ruang kelas, ruang-ruang guru, dan room meeting hotel, dan lainnya. Hem, tak lama lagi menjadi kenangan. Kenangan bagi pendidik.
Kini, Tuan Guru bersama sohib harus fokus belajar selama tiga hari (20-22, Juli 2022) pada imbingan teknik (Bimtek) Pedagogik, pembelajaran untuk anak-anak berisi implementasi Kurikulum Merdeka Belajar.
Tuan Guru bersama sohib harus merefresh otak memahami Kurikulum Merdeka Belajar. Kurikulum baru “memaksa” guru menyiapkan pembelajaran sesuai kebutuhan peserta didik.
Para Mentor dari Balai Besar Penjamin Mutu Pendidikan Sulawesi Selatan, “dimotori” Ibu Rahmatia, Pak Suardi, Ibu Nur Dewi dan Ibu Ainun dengan penuh bersabar tingkat dewa, mengubah pola pikir Tuan Guru dan sohib untuk menerapkan pembelajaran berdiferensiasi di ruang-ruang kelas.
“Berubah lagi, kurikulum baru dan tantangan baru,” kata sohib, saat mengikuti Bimbingan Teknis Pedagogik di Hotel Kenari, Jalan Jenderal Sudirman, Kota Parepare, Sulawesi Selatan.
Bagi Tuan Guru, pembelajaran berdifrensiasi membuat peserta didik memiliki kemampuan literasi dan numerasi yang baik. Guru memfasilitasi peserta didik sesuai dengan kebutuhannya.
Selain itu, guru harus menguasai karakter peserta didik secara fisik agar mendapat perlakuan sama. Di awal pembelajaran guru mesti melakukan asesmen diagnostik kognitif dan nonkognitif untuk mengetahui kebutuhan, minat dan bakat peserta didik.
Hasil asessmen diagnostik karakteristik peserta didik, guru bisa menentukan metodologi, strategi dan model pembelajaran terbaik atau kekinian.
Hasil asesmen itu, mengantar manajemen kelas efektif. Penilaian berkelanjutan, guru memikirkan tindakan yang masuk akal sesuai bakat peserta didik.
Pembelajaran berdiferensiasi membuat lingkungan belajar nyaman, menyenangkan sehingga mengundang peserta didik untuk belajar.
Selain itu, guru mesti membuat pemetaan kebutuhan belajar yaitu: kesiapan belajar, minat belajar, dan profil belajar murid. Pemetaan bisa dilakukan melalui wawancara, observasi, atau survei menggunakan angket, dan lainnya.
Kamudian, guru merencanakan pembelajaran berdiferensiasi sesuai hasil pemetaan, dengan berbagai pilihan strategi, materi, dan cara belajar.
Di akhir pembelajaran guru bersama peserta didik mengevaluasi dan merefleksi pembelajaran yang sudah berlangsung. Tuan Guru dan sohib berharap, pembelajaran berdiferensiasi akan memberikan dampak baik bagi sekolah, kelas, dan peserta didik.
Setiap anak memiliki karakter berbeda. Pelayanan diberikan sesuai kebutuhan agar bisa maju dan berkembang belajarnya.
Pembelajaran berdiferensiasi membuat setiap anak merasa disambut dengan baik. Peserta didik dengan berbagai karakteristik merasa dihargai, merasa aman, dan ada harapan bagi tumbuhkembang anak.
Guru mengajar akan mencapai kesuksesan, mendapatkan keadilan dalam bentuk nyata, guru dan anak didik berkolaborasi, kebutuhan belajar murid terfasilitasi dan terlayani dengan baik sehingga hasil belajar lebih optimal.
Tuan Guru harus mencari literatur, pembelajaran berdiferensiasi sesuai filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara. Guru harus dapat menuntun anak didik berkembang sesuai dengan kodratnya. Mewujudkan merdeka belajar dan profil pelajar pancasila.
Saatnya guru berdifrensiasi dan murid merdaka belajar. Bukan belajar merdeka. Selama pelatihan, terlihat masih ada sulit tersenyum. Meski harus terpaksa tersenyum untuk sebuah perubahan.
Tuan Guru merefleksi pembelajaran berdifrensiasi pada Kurikulum Merdeka dengan bahasa Sains. Pemahaman Kurikulum Merdeka belum sepenuhnya bervibrasi pada tanda polikromatik beresonansi di jiwa.
Kini, Kurikulum Merdeka Belajar melekat rasa, bukan semiotik emburto eco. Ini juga bukan fatamorgana. Bukan juga aurora saat gelombang berinterferensi konstruktif.
Walau “jarak” kita seperti aphelium. Namun senyum para guru dan mentor tetap kekal, tak terbiaskan, tak terfriksi ruang dan waktu.
Archimedes dan Newton tak akan mengerti medan magnet yang berinduksi di antara kita. Enstein dan Edison pun sanggup merumuskan E=mc kuadrat.
Ah tak sebanding dengan momen semangat para pembelajar demi negeriku.
Pertama kalinya kurikulum merdeka jatuh tepat di fokus sereblum otakku. Posisinya, nyata, tegak, diperbesar dengan kekuatan energi maksimum.
Bak tetes minyak milikan jatuh di ruang hampa. Semangatku lebih besar dari bilangan avogadro. Walau jarak kita bagai Matahari dan Pluto saat aphelium.
Semangatnya bak amplitudo bergelombang, berinterfensi terus belajar dan berbagi pengetahuan. Seindah gerak harmonik sempurna tanpa gaya pemulih. Bagai kopel gaya dengan kecepatan angular yang tak terbatas.
Semangat belajar bagai energi mekanik tak terbendung friksi energi potensial. Semangat tak terpengaruh oleh tetapan gaya energi kinetik sebesar 1/2 mv kuadrat.
Bahkan hukum kekekalan energi tak dapat menandingi hukum kebersamaan antara kita untuk terus belajar dan berbagi pengetahuan. Tetap senyum menatap Kurikulum Merdeka Belajar. Memanusiakan manusia.
Semenjak bersama di kelas, energi statikku telah mengejutkan gaya pegas jantungku, sehingga jantungku berdetak tak beraturan bagaikan gelombang bunyi tak beraturan.
Refleksi pembelajaran telah membunuh urat mataku sehinga membiaskan bayangan Merdeka Belajar yang jatuh di otakku.
Pancaran Radiasi Pesonamu membuat otakku tidak bisa berpikir rasional. Sejak saat itu, atom-atom penyusun di otak kian mengumpul karena gaya listrik statik dan energi Potensial di otak, terus bergerak, menggerakkan, dan digerakkan.
Di akhir pelatihan diharapkan guru berdifrensiasi. Murid merdeka belajar, bukan belajar merdeka. Narasumber pun menutup dengan sebuah nasihat bermakna dalam pembelajaran di kelas.
“Riolo napatiroang, ritenga napa raga-raga, rimonri napiampiri. (Di depan memberi petunjuk dan menuntun. Di tengah merangkul dan bersahabat. Di belakang menjaga dan memberi dorongan).” (*)