Ketika Prestasi Anak Wara-wiri di Medsos

Jumat, siang, 24 Juni 2022, Tuan Guru mengambil raport anaknya, Aisyah. Kebetulan ia tak bisa hadir, maklum kurung fit.

Sebelum pembagian raport atau hasil evaluasi belajar peserta didik selama enam purnama, wali kelasnya mengumumkan anak didik sukses meraih rising star dan libur sekolah.

Anak meraih bintang paling banyak. Bintang itu diberikan kepada anak tepat waktu menyetor hapalan, setor tugas, disiplin mengikuti pelajaran dan lainnya.

Bukan yang memiliki nilai kompetensi tertinggi. Maklum menu rangking di raport dihilangkan sejak Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) diterapkan.

Meski masih banyak guru menambahkan rangking di buku raport dengan alasan menghargai prestasi dan kompetesi.

“Kami masih menghargai prestasi,” singkat sohib beberapa tahun lalu.

Setelah menerima raport, Tuan Guru berpamitan sekaligus berterima kasih kepada guru yang telah mendidik anaknya.

“Terima kasih telah mendidik anak kami dengan baik. Penuh dedikasi. Telah mencontohkan adab-adab yang baik,” ujar Tuan Guru pamit.

Saat tiba di rumah, Tuan Guru santai, menikmati secangkir ramuan jehe merah dipadu olahan gula aren, sambil membuka gawai dan jelajahi media sosial Facebook.

Hasil penjelajahan itu terlihat, prestasi anak wara-wiri lini masa Facebook. Puluhan Sohib pun pamerkan prestasi anaknya.

Bagi Tuan Guru, pamer prestasi anak tidak masalah. Orang Tua tentu senang, bahagia, dan bangga sang buah hati-hati meraih ranking di kelas atau  berhasil lolos di perguruan tinggi negeri ternama.

Pemer rangking bukan  sebuah kesalahan. Namun, pamer informasi prestasi anak di media sosial bukan bagian penting bagi dunia pendidikan kita.

Pendidikan itu usaha bersungguh-sungguh menjadikan anak mencintai aktivitas membaca, menambah pengetahuan, berpikir logis, paham nilai-nilai benar dan salah.

Menurut Psikolog Rizki Nuansa Hadyan, dikutip dari Suaralira.com, ranking itu bukanlah bagian terpenting dalam pendidikan kita.

Hakikat pendidikan, kata dia, tidak bisa diranking. Jika berfokus pada ranking, maka akan kehilangan nilai-nilai yang hakiki dalam pendidikan.

Paling penting anak selalu naik kelas dan bergairah menjalani aktivitas sekolahnya.

Bagi Tuan Guru,  nilai raport itu salah satu indikator, mengetahui kelemahan dan keunggulan anak. Sehingga orang tua bisa tahu di titik mana harus membantu anak.

Saat itulah, orang tua mengeksplore kehebatan anak. Meski masih ada orang tua menambah waktu belajar (les) anaknya mengeksplore kelemahannya.

Dampingilah anak agar cinta membaca, menemukan kelebihannya, mencontohkan adab-adab baik, sikap jujur dan jiwa pejuang agar tidak menjadi generasi jengeng.

                ****
Tuan Guru pun teringat sebuah cerita Warga Negara Indonesia (WNI) yang bermukim di Amerika Serikat, saat ia menerima  Report Card (Raport) anaknya di sekolahya. (grup Facebook Moom Sharing).

Nilai anaknya sangat memuaskan. Tapi tidak ada informasi rangking di raport.

“Anak saya ranking berapa,” tanya WNI itu.

Bukannya menjawab pertanyaan WNI itu, tapi sang guru malah balik bertanya, “Kenapa Anda orang Asia selalu bertanya seperti itu?”

“Anda kok sangat suka sekali berkompetisi. Di level anak Anda, tidak ada rangking. Tidak ada kompetisi,” katanya.

“Kami mengajari mereka tentang kerjasama. Mereka harus bisa bekerja dalam team work.”

“Mereka harus bisa cepat bersosialisasi dan beradaptasi. Mereka harus punya banyak teman.”

“Kami mengajari mereka story telling, cara mengungkapkan isi pikiran dalam bahasa yang terstruktur dan sistematis.”

“Kami mengajari mereka logika dalam setiap kalimat yang mereka ucapkan.”

Tidak semua harus dokter, insinyur atau profesi lainnya. Berikan kesempatan anak mengembangkan potensi dirinya.

Kelak mereka mampu membentuk tim yang kuat untuk menyelesaikan masalah bangsa.

Bukan berkompetisi atau bersaing menjadi terbaik, menghalalkan segala cara demi meraih ambisinya.(*)

Ilustrasi pamer di medsos (Sumber: Freepik)

__Terbit pada
25 Juni 2022
__Kategori
Culture, Lifestyle