Hujan Turun di Musim Kemarau, Kok Bisa?

Akhir-akhir ini, sejumlah daerah di Sulawesi Selatan, masih diguyur hujan. Padahal, tahun-tahun sebelumnya, bulan April dan Mei sudah memasuki musim kemarau.

Mengapa masih turun hujan, berikut penjelasan pakar Fisika Bumi Universitas Negeri Makassar dan Peneliti Karts, Dr Ir Muhammad Arsyad, MT.

Saat ini posisi semu matahari berada di atas katulistiwa. Kondisi ini, mengakibatkan terjadinya temperatur tekanan, sehingga kelembaban di atmosfer yang menghasilkan uap air.

Fenomena ini disebabkan perubahan iklim, seperti kenaikan temperatur rata-rata dalam setahun.

Setiap perubahan unsur-unsur cuaca, seperti tekanan, temperatur, dan massa udara akan berpengaruh langsung dna nyata pada kondisi kekinian di atmosfir bumi.

Indonesia yang berada di khatulistiwa akan menerima dampak setiap perubahan itu walaupun tidak seekstrem dengan kondisi kawasan di daerah subtropis.

Pada bulan Mei ini, terjadi perubahan temperatur di Samudera Pasifik. Perubahan itu disebut dengan Madden Julian Oscillation (MJO).

Kejadian di Samudera Pasifik tidak bisa dipisahkan dengan kejadian di atmosfir. Jenis gelombang ini mempengaruhi.

MJO pada 5 Mei 2022 berada pada kuadran 2 atau Indian Ocean yang kurang berkontribusi terhadap proses pembentukan awan hujan di wilayah Indonesia.

Tapi sesuai model filter spasial MJO, gangguan fenomena MJO terpantau aktif di wilayah Samudra Hindia sebelah barat Sumatera, Samudra Hindia Barat Banten, Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.

Daerah lainnya Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, pesisir selatan Kalimantan, Sulawesi selatan dan Sulawesi Tenggara bagian selatan yang berpotensi menyebabkan peningkatan pertumbuhan awan hujan di wilayah tersebut.

Gelombang ekuator yang terjadi di Indonesia, yakni Gelombang Rossby Ekuator dan Gelombang Kelvin.

Gelombang Rossby Ekuator
yang berpropagasi ke arah barat mencakup wilayah Samudra Hindia barat Sumatera, Pesisir barat Sumatera, perairan barat dan utara Aceh, perairan sebelah barat Sumatera Utara dan Sumatera Barat.

Laut Andaman, Laut Cina Selatan, Samudra Hindia barat-barat daya Banten, Laut Arafuru dan Papua bagian selatan yang berpotensi menyebabkan peningkatan pertumbuhan awan hujan di wilayah tersebut.

Gelombang Kelvin yang berpropagasi ke arah timur mencakup wilayah Laut Jawa, dan Selat Makassar bagian selatan yang berpotensi menyebabkan peningkatan potensi pertumbuhan awan hujan di wilayah-wilayah tersebut.

Selain itu, perubahan iklim menyebabkan El Nino dan La Nina. El Nino adalah perubahan iklim yang menyebabkan musim kemarau lebih panjang dari biasanya.

Sementara La Nina sebaliknya, musim hujan yang lebih panjang. Tahun 2022 ini, gejala La Nina yang terjadi.

Dilansir bmkg.go.id, musim kemarau 2022 pada 342 ZOM di Indonesia menunjukkan, sebagian besar wilayah diprakirakan mengalami Awal Musim Kemarau di bulan April hingga Juni sebanyak 261 ZOM atau 76,3 persen dari 342 ZOM.

Jika dibandingkan terhadap rata-ratanya selama 30 tahun (1991- 2020), Awal Musim Kemarau 2022 di sebagian besar daerah yaitu 163 ZOM (47,7 persen) diprakirakan mundur.

Sedangkan wilayah lainnya diprakirakan sama terhadap rata-ratanya 90 ZOM (26,3 persen) dan maju terhadap rata-ratanya sebanyak 89 ZOM (26,0 persen).

Sifat Hujan selama Musim Kemarau, di sebagian besar daerah yakni sebanyak 197 ZOM (57,6 persen) diprakirakan Normal, sedangkan wilayah lainnya Atas Normal sebanyak 104 ZOM (30,4 persen) dan diprakirakan Bawah Normal sebanyak 41 ZOM (12,0 persen).

Puncak Musim Kemarau di sebagian besar wilayah ZOM diprakirakan terjadi pada bulan Agustus 2022 sebanyak 181 ZOM (52,9 persen). (*)

__Terbit pada
10 Mei 2022
__Kategori
Sains

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *