Rindu Kampung

Rindu kampung. Kini warga berbondong-bondong mengunjungi keluarga di kampung halaman. Ini bukan Mudik, tapi massiara (silaturahmi) dengan kerabat di kampung.

Saya bersama keluarga yang memiliki tradisi berkumpul usai lebaran di Tanrutedong, Kabupaten Sidrap. Liu dan Sengkang, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan.

Menuju dua daerah itu, butuh perjuangan melelahkan antre di jalan raya. Jalan rusak dan arus lalulintas macet. Warga rela berjam-jam di jalan raya, demi silaturahmi dengan kerabat di kampung.

Saat lebaran, macet berpindah dari kota ke jalan-jalan menuju kampung-kampung. Warga rindu dengan suasana kampung.

Menuju Kota Sengkang, kota kecil yang berjarak 250 kilometer dari Kota Makassar, Sulawesi Selatan, ramah menyapa pengunjung, sejumlah ruas jalan rusak. Butuh perbaikan.

Biasanya, kami mengunjungi sejumlah warung kopi, kuliner, memanjakan lidah. Tetapi, niat itu batal. Maklum, warung kopi dan kuliner, tempat menyereput kopi belum buka.

Tuan Guru bersama keluarga menikmati malam di Kota Sengkang, di bilangan Masjid Masjid Agung Ummul Quraa, Sengkang, Kecamatan Tempe, Wajo, Sulawesi Selatan.

Masjid Raya yang berada di jantung Kota Sengkang di bagian timur terdapat Lapangan Merdeka, Kota Sengkang yang sudah tertata rapih, cocok untuk selfi atau bersuafoto. Jogging di pagi dan sore hari menyehatkan tubuh.

Lapangan Merdeka yang biasanya ramai pengunjung di malam hari, kini sepi. Maklum masih suasana lebaran.

Di malam hari, masjid dibalut cahaya penuh warna-warni, memberikan suasana cerah dan memikat pengunjung di Kota Santri, sebutan lain Kota Sengkang.

Kamis, pagi 04 Mei 2022, rintik rinai membasahi Kota Sengkang, rencana menjajal jalur jogging di Lapangan Merdeka pun batal.

Tuan Guru bersama kerabat menikmati Buras bersama panganan khas Bugis lainnya. Sebelum melanjutkan aktivitas dalam suasana lebaran.

Burasa di Hari Fitri
Sehari sebelum lebaran, para Ibu sibuk menyiapkan kue Passiara dan Burasa (Buras). Burasa salah satu panganan khas Bugis-Makassar terbuat dari beras yang dicampur santan dan sedikit garam agar lebih nikmat.

Panganan ini biasanya dilengkapi kuliner khas lainnya, seperti, nasu likku, opor ayam, kari ayam dan lainnya. Menu itu, disajikan khusus untuk keluarga dan tetamu yang datang Massiara (silaturahmi).

Bagi orang Bugis-Makassar, menyiapkan panganan di hari raya lebaran, bukan sekadar tradisi. Tetapi, menyisipkan doa dan harapan agar kelak bertemu kembali bulan suci Ramadan.

Selain itu, tradisi Maburasa mengandung nilai kekeluargaan dengan berbagi Burasa dengan tetangga, meski mereka juga menyediakan panganan Burasa.

Massiara itu ritual setelah salat Ied, menikmati Burasa dan panganan lainnya sebagai simbol persaudaraan dan kembali fitri atau suci. Setelah setelah tempa di Madrasah Ramadan selama satu bulan.

Kini saatnya merawat tali silaturahmi, mengakui kesalahan, meminta dan memberi maaf. Lalu memperbaiki serta tidak mengulang kesalahan.

Meminta dan memberi maaf di hari raya yang dikemas dengan ritual Massiara, ternyata sangat afdal. Tidak ada pihak yang merasa malu meminta maaf.

Massiara juga merekatkan ikatan kekerabatan dengan orang lain. Membangun interaksi penuh empati. Memulai sikap positif, menata sikap dan memperbaiki perilaku kepada orang lain.

PassiaraUang
Selain silaturahmi dengan keluarga besar di Kota Parepare juga melayani “Passiara” anak-anak. Bocah -bocah itu, rutin datang Massiara di hari raya Ied.

Assalamu Alaikum. Massiara, Massiara, Massiara,” suara pelan sekelompok bocah di halaman rumah.

Mereka pun dipersilakan masuk ke rumahnya dan diminta mencicipi hidangan khas Idulfitri yang telah disajikan di meja makan.

Tapi anak-anak itu, biasanya dengan polos menolak ajakan Tuan Guru. “Uangmo puang,” mereka kor jawabnya .

Tuan rumah pun memberikan uang baru yang ditukar di bank sebelum lebaran dan dibagi secara adil kepada anak-anak yang datang Massiara.

“Terima kasih Puang,” katanya, pamit. Lalu berpindah ke rumah lainnya, sesuai “target” yang telah disepakati. (*)

__Terbit pada
4 Mei 2022
__Kategori
Culture