
Budaya Kerja Sehat di Sekolah
Pewaktu menunjukkan pukul 16.00 Wita, biasanya Tuan Guru ngabuburit dengan jalan-jalan di seputar pantai, menunggu waktu berbuka puasa.
Kali ini, Tuan Guru memilih duduk santai di teras sambil membaca buku Tubuh Anda Adalah Dokter Terbaik.
Tiba-tiba smartphone Tuan Guru berdering, di balik telepon sohib meminta membuat tagline menerapkan budaya kerja di sekolah.
“Halo… Tuan Guru diminta membentuk tim penerapan budaya kerja di sekolah,” kata sohib di balik telepon.
“Hehe, kenapa saya,” tanya Tuan Guru.
“Ini permintaaan kepala sekolah,” jawab sohib.
Sohib pun mengirim kerangka budaya kerja sekolah. Tuan Guru bersama sohib bahas tagline dan sepakat menggunakan kata Monriolo atau terdepan.
Bagi Tuan Guru, setiap sekolah memiliki budaya kerja yang sehat dengan ciri khas unik setiap sekolah.
Budaya sekolah itu dibentuk oleh nilai dan norma yang telah diterapkan. Guru dan tenaga kependidikan dihargai, aman, nyaman menjakankan tugas pengabdian.
Budaya kerja sehat itu, sesuai 18 karakter yang ingin dicapai di sekolah. Ke-18 karakter itu adalah religious, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri , demokratis, rasa ingin tahu, dan semangat.
Selain itu, kebangsaaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial dan bertanggung jawab.
Ke-18 ini menjadi nilai karakter dalam budaya Monriolo yakni Matang. Berpikir dan berprilaku matang pada tingkatan yang terbaik.
Amanah atau setia, dan dapat dipercaya mendidik anak didik.
Memiliki jiwa Respek atau bertindak positif yang ditunjukkan kepada seseorang atau rasa kekaguman untuk kualitas yang baik atau berharga.
Selalu berinovasi dan belajar dari ilmu pengetahuan, serta dapat memberikan manfaat dalam kehidupan manusia.
Memiliki sikap loyal atau kesetiaan dan kepatuhan seseorang terhadap organisasi.
Bertindak obyektif dan tidak berpihak, di mana sesuatu secara ideal dapat diterima semua pihak dan memiliki kemampuan berpikir original yang murni atau asli.
Nilai-nilai itu melebur dalam
karakter religius, nasionalis, mandiri, gotong royong dan integritas.
Karakter itu, kata sohib, tidak bisa terbentuk secara instan, tetapi butuh pembiasaan yang rutin.
Pembiasaan yang rutin akan menjadi budaya positif di ekosistem sekolah. Menjadi tradisi sekolah yang bertumbuh dan berkembang sesuai nilai-nilai yang dianut.
Bagi Tuan Guru, budaya kerja sekolah yang bisa dikembangkan. Pertama, gerakan literasi sekolah (GLS). Pembudayaan literasi sekolah akan mengantar anak didik dan guru menjadi pembelajar.
GLS yang rutin akan menginstal minat dan keterampilan membaca peserta didik. Sehingga pengatahuan dapat dipahami dengan baik.
“Manajemen sekolah mesti menyediakan corner baca,” kata sohib.
Kedua, Ekstra kulikuluer. Kegiatan ini menggali minat dan bakat pesera didik, seperti kerohanian, pramuka, olahraga, seni dan karya ilmiah. Mengarahkan anak didik agar, terbiasa dengan aktivitas berpikir.
Ketiga, pembiasaan di awal dan akhir PBM. Pembiasan yang rutin, seperti membaca 15 menit di awal pembelajaran.
“Tidak perlu rumit, hanya dibutuhkan konsistensi agar melahirkan budaya baca,” kata Tuan Guru.
Di akhiri pembelajaran, ditutup dengan refleksi. Sesekali guru menjadi pendengar dan teman curhat bagi anak didik.
“Refleksi, doa serta kedekatan emosional melalui berjabat tangan, perlu dirutinkan di akhir pembelajaran,” kata sohib.
Selain itu, merutinkan menyambut kedatangan anak di gerbang sekolah sembari menjabat tangannya.
“Menanyakan kabar anak didik membuat nyaman saat menerima pelajaran,” katanya.
Keempat, pembiasakan prilaku baik. Karakter itu akan terlihat pada spontanitas prilakuknya.
Perlu ada keteladanan dari semua pihak, terutama pendidik dan tenaga kependidikan yang ada.
Keteladan pendidik diperlukan. Jangan menampilkan perilaku buruk di depan peserta didik seperti merokok, berdebat dan berkelahi.
Penerapan budaya kerja yang sehat Monriolo meliputi kaizen (perbaikan), terdepan, soft skill,
efisien dan efektif. (*)