Alam Ingin Bersahabat
Air mungkin lagi bersedih. Sedih karena merusak rumah, jalan, dan ribuan hektar tanaman warga gagal panen. Banjir dan longsor, menyebabkan korban harta benda.
Sebenarnya alam enggan melakukannya, ia tetap ingin bersua dengan penuh kehangatan. Bersahabat dan bercengkrama dengan manusia. Tak mau mengganggu manusia seperti duhulu kala.
Sejak dahulu, pohon menyuplai oksigen dari proses fotosintesis yang begitu damai dan indah. Di malam hari tanaman melepas gas CO2 atau karbon dioksida untuk respirasi.
Pohon mengambil sebagian besar karbon dioksida dan melepaskan oksigen pada siang hari. Hutan diamanah sebagai penjaga Paru-paru Bumi agar mahluk di belahan dunia bernafas dengan baik. Tanpa sesak.
Pohon sangat patuh, menjalankan amanah. Pohon hanya minta jangan diganggu. Ambillah sesuai kebutuhanmu. Pohon selalu memohon agar manusia menjaganya dari tangan-tangan jahat yang merampok dengan cara membabat pohon di hutan secara liar.
Pohon selalu ingin menjadi tempat meneduhkan dan menentramkan bagi manusia dikala sang surya mengirim teriknya. Pohon ingin menjadi tempat bercengkrama dengan manusia. Hidup saling melengkapi.
Gunung ditugasi menjadi paku bumi yang kokoh untuk menahan derasnya air hujan. Gunung pun melebarkan pori-porinya menyerap air di badannya. Melindungi manusia dari terjangan air hujan.
Pohon di pegunungan terus menyerap air hujan agar tak mengalir deras ke menuju perkampungan. Hemm, sebuah tugas yang begitu mulia.
Dahulu, alam telah bersepakat dengan tugas itu. Tapi, manusia-manusia yang mengaku modern itu, telah membuyarkan segalanya. Mereka tak mau bersahabat. Tak mau akrab dengan alam.
Mereka sangat membenci alam. Pohon-pohon di hutan dan pegunungan telah mereka singkirkan. Gunung sebagai paku Bumi diratakan demi mendapatkan keuntungan pribadi.
Tapi, kerusakan ekosistem terjadi di mana-mana. Laut dan drainase penuh sampah plastik. Gunung dan hutan dibabat habis untuk industri dan tempat tinggal.
Hutan sebagai perawat Paru-paru dunia telah ditebang. Kini gunung dan hutan kesepian. Tanah bersama air meninggalkannya. Air dan tanah bergerak menuju pemukiman manusia.
“Jangan tinggalkan aku, tetaplah menjadi sahabatku selalu menjadi peneduh dan memberi ketenteraman,” tanah menangis kesepian.
“Mengapa engkau sangat kejam memisahkan kami. Kehidupan yang tenteram ini kau rusak,” pohon merintih.
Pohon hanya bisa menangis melihat manusia zaman now, telah melupakan nasihat nenek moyangnya yang begitu ramah dengan alam.
Pendahulu telah bersepakat merawat dan melestarikan alam agar tercipta kehidupan yang saling membutuhkan dan melengkapi.
Alam memberi apa saja kebutuhan manusia dan manusia ditugasi menjaganya. Tapi kesepakatan itu, semua buyar.
Alam masih bersabar terus menyuplai oksigen ke manusia, sembari berharap manusia sadar dan mau menjaganya kembali seperti pendahulunya.
Pohon, tanah, dan air bersabar. Mereka menunggu kebaikan manusia. Alam berharap, manusia bisa memulihkan kembali keakraban dan kepercayaan yang sudah terbangun selama ini.
Berharap manusia mengembalikan kehangatan mereka. Mungkin selama ini ada kekhilafan diantara mereka.
Tapi, nampaknya kesabaran alam, sudah habis. Yang ditunggu-tunggu sekian lama, tak kunjung tiba. Manusia hanya memberikan janji-janji. Pemanis belaka.
Di ujung sana, nun jauh. Suara alam terdengar riuh bergembira. Ia mendengar gosip. Banyak manusia yang risau dengan kondisi hutan dan gunung gundul.
Mereka risau, tapi tidak mau mencegah. Tangan-tangan yang jahat itu terus menjamah hutan-hutan dan gunung. Bahkan terus menginvasi hutan-hutan yang masih “perawan”.
“Wahai manusia, khalifah di muka Bumi ini. Jangan tutup mata dan telinga kalian. Kami menunggu itikad baikmu agar akrab dan bersahabat denganmu,” rintih hutan.
Saat hujan dan angin kencang datang, tanah hanya bisa pasrah dibawa air ke pemukiman. Alam marah, manusia hanya prihatin, tanpa berbuat.
Setelah air melewati jalannya yang telah ditempati rumah, jalan, gedung mewah. Penguasa bersama aparatnya pun datang. Mereka monitoring dan evaluasi. Mengapa musibah itu terjadi.
Mereka mengevaluasi dari berbagai sisi, menggunakan teropong super canggih. Dari puncak gunung terlihat gunung merintih. Gelondongan kayu berserakan di atas tanah yang bercampur lumpur. Mengerang, kesakitan.
Dari tengah hutan terlihat, hutan kritis. Pohon-pohon penyuplai oksigen, berdiri tanpa daun, tandus, mengerang kesakitan. Tanahnya sudah tandus. Menangis.
Di aliran dan pinggir sungai, aktivitas penambangan menyebabkan kerusakan lingkungan. Disimpulkan, bencana alam yang terjadi, karena masalah hulu yang sudah kritis.
Tapi itu semua hanya sebatas pernyataan dan pemanis belaka. Hutan dan gunung yang sudah tandus tetap menangis. Meringis dan mengerang kesakitan. Makin marah.
Penguasa hanya bisa berjanji untuk melestarikan kembali alam. Tapi, tak mampu mencegah para pembabat hutan dan penambang mengeruk isi alam.
Saat amuk alam datang, manusia baru sadar dan meratapi diri. Koreksi diri lagi. Baru akan memahami alam lagi. Ingin merawat alam lagi. Ingin melestarikan alam lagi.
“Mengapa manusia tak mendoakan para perusak lingkungan agar sadar dan tidak lagi melakukan pembabatan hutan dan penggundulan pegunungan yang asri,” protes alam.
“Mengapa doa-doa dan upaya pencegahan tidak dilakukan kepada para perusak lingkungan. Jangan salahkan kami bila tidak bisa lagi bersahabat,” alam membatin.
Bila manusia sadar di mana tempatnya bermukim, air tak akan mengganggunya. Kehidupan masing-masing berjalan normal. Air di laut menjadi sumber kehidupan.
Laut tempat mencari nafkah bagi nelayan. Laut, tempat melepaskan kepenatan dari aktivitas yang padat. Air laut akan ikhlas menerima. Menemaninya dan sesekali menggoda dengan gulungan ombak yang penuh pesona.
Selama ini, air tetap berada di kehidupannya sendiri. Justru manusia yang datang menginvasi. Mengambil hak air untuk mengalir. Mengambil hak ombak mendekati pantai.
Air di pantai dipaksa berbaur dengan air laut yang lebih dalam. Dipaksa bergaul dengan ikan-ikan besar. Padahal biasanya ikan kecil asyik bercumbu dengannya.
Air pantai heran, manusia menyebutnya banjir. Padahal, Air hanya ingin mengalir di tempatnya. Manusia saja yang menghalanginya dengan menimbun.
Air meradang. Pasti. Sebab dinilai pengganggu kehidupan manusia. Padahal tetap menjalani kehidupannya sama dari dulu sampai sekarang.
Maka air protes keras. Caranya, meluap ke daratan yang disebut manusia banjir rob. Korbannya, lagi-lagi manusia yang tak mengerti dan tak tahu apa-apa.
****
Penduduk Bumi menganggap cuaca ekstrem ini efek dari perubahan iklim. Tapi minim langkah pencegahan. Perubahan iklim seolah hanya menjadi ilmu baru.
Tanpa disadari, perubahan iklim itu disebabkan aktivitas manusia. Penghancuran hutan dan gunung untuk industri dan tempat tinggal baru bagi manusia.
Alam sudah lama menunggu gerakan manusia mereboisasi atau penanaman pohon atau menata ulang hutan-hutan dan gunung yang telah rusak.
“Wahai manusia, rawatlah kami yang telah kau rusak. Kami masih ingin hidup bersama saling meneduhkan dan menentramkan,” teriak Hutan dan gunung yang sudah kritis.
Jumlah pohon di hutan dan di gunung yang menyaring polusi dan menciptakan oksigen bagi manusia kian menurun, sehigga suhu Bumi naik. Terjadi pemanasan global.
Saat suhu Bumi naik, es di daerah kutub terus mencair. Permukaan air laut terus naik. Permukaan air laut yang meningkat bisa menyebabkan banjir rob.
Penanaman pohon di hutan dan gunung secara besar-besaran harus dilakukan. Tanpa hutan dan wilayah hijau, Bumi lebih panas dan sulit menghasilkan oksigen segar untuk dihirup. (Hairil/*)
Ilusttasi pohon mati (pixabay.com diunduh dari liputan6.com)
One comment on “Alam Ingin Bersahabat”
Komentar ditutup
Keren pak