Asa di Ujung Lembang
OLEH : RUSNI
Namaku Fahira Tuzzahra, teman-temanku menyapa Fahira, saya lahir dari keluarga sederhana. Saat ini, mengenyam pendidikan perguruan tinggi di Makassar, Sulawesi Selatan.
Kini, aku rindu menjadi Fahira kecil penuh warna, terkadang mengabaikan nasihat orang tua. Tak jarang mendapat cubitan. Cubitan itu kurindukan.
Saat SD, saya dikenal sebagai bos, sering berkelahi dan adu pukul dengan laki-laki yang mengganggu.
Saat sore hari, saya pergi ke sawah bersama teman membantu petani yang sedang menanam dan ikut makan barsama setelah menanam.
Terkadang kami mencari telur bebek di sawah yang tidak dipungut pengembala dan itu sangat menyenangkan. Mengadu jangkrik, mandi di sungai, main masak-masakan, lompat tali, bola kasti, petak umpet, dan lainnya.
Masa kecilku juga dibumbui dengan kegiatan religius, setelah salat Subuh sebelum berangkat dan pulang sekolah, saya dan teman teman pergi belajar mengaji di rumah kakek.
Setelah magrib kami belajar mengaji lagi di mesjid dan dibimbing para ustadz. Mereka mendidik kami sangat keras, tapi tak melukai.
Alhamdulillah, saya belajar dan memahami Alquran, hingga bisa membaca dan menulis Alquran.
Setelah tamat SD, saya dan keluarga pindah ke kampung halaman bapak di Desa Pangaparang, di sana saya memulai hidup baru dan pendidikan baru.
Awalnya saya tak setuju, terpisah dari teman-teman SD yang dulu selalu bersamaku sewaktu di kampung halaman. Teman-teman SD melanjutkan pendidikan SMP di tempat yang sama, hanya aku yang terpisah.
Bapakku daftarkan saya di SMP pilihannya. Saya menghargai permintaan orang tua saya, menempuh pendidikan di SMP Negeri 2 Lembang.
Hari pertama sekolah, sangat membosankan. Tidak ada teman bisa diajak bicara, bermain dan bertutur sapa. Saya hanya duduk termenung, melihat siswa baru lainnya bermain.
Hari kedua, saya ke sekolah naik angkot, membiasakan diri mandiri. Matahari semakin tinggi, saya khawatir, saya tidak terbiasa terlambat ke sekolah.
Di mobil angkot, saya bertemu anak sekolah. Dia mengajakku berkenalan namanya adalah Ani dan Ira. Mereka kembar, tapi tak seiras.
Saat pembagian kelas, saya di kelas 7.B dengan jumlah siswa 28 orang. Saya memilih duduk paling depan.
Teman pertamaku di kelas adalah Halima, teman sebangku. Saya mulai beradaptasi tapi saya lebih pendiam tidak seperti dulu yang menjadi bos di kelas.
Di SMP saya belajar Bahasa Inggris. Suatu hari saya diberi tugas yaitu Procedural Text. Saya tidak tahu sama sekali apa itu Procedural Text.
Saya tidak tahu kosakata dari Bahasa Inggris, saat itu aku belum punya smarthphone yang bisa membantuku mencari tugas di internet.
Saat guru memeriksaan tugas dan memanggil namaku, aku menghadap membawa buku catatanku yang tidak lengkap, aku kena cibiran.
“Dia tommi tidak jadi tugasnya. Dia tomi rantasa catatanna,” katanya. (sudah tidak jadi tugasnya ditambah catatannya juga tak rapih).
Saya dihukum menghafal 50 kosakata Bahasa Inggris, 10 kata noun, 10 verb, 10 adjactive,10 adverb, dan angka 1-10 dalam Bahasa Inggris.
Saya tidak paham apa itu noun, verb, adjective, adverb, dan Bahasa Inggris dari angka 1-10.
Saat jam istirahat, saya duduk merenung di samping ruangan Laboratorium Komputer, memikirkan hukumanku.
“Siapa yang harus membantuku,” gumamku dalam hati, sambil mengusap air mata mulai mengalir di pipiku.
Tiba-tiba guru Pendidikan Agama Islam bernama Pak Subair mendengar isak tangisku. Dia keluar dari ruangan Laboratorium Komputer dan menghampiriku.
“Kenapaki menangis Nak, (kenapa menangis nak?),” tanya Pak Subair.
“Guru Bahasa Inggrisku menghukumku karena tidak bisa mengerjakan tugas dan melengkapi catatan,” jawabku.
“Kenapa tidak dikerjakan,” tanyanya lagi.
“Saya tidak tahu sama sekali tentang Bahasa Inggris Pak,” jawabku.
Pak Subair ke ruangannya dan memperlihatkanku buku Dasar Dasar Bahasa Inggris karya Prof Dr Azhard Aryad.
Dia membantuku mengerjakan tugas yang diberikan guru Bahasa Inggrisku. Dia menasihatiku agar terus belajar.
“Wa la tayyastsu min rauhillah artinya dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah SWT,” katanya.
Kalimat itu tidak akan pernah kulupa dari guru yang tulus mendidikku. Itu adalah motivasi terbesar yang pertama aku dapat dari sosok beliau.
Dia tidak pernah marah saat mengajar. Mengajar sangat baik dan meyenangkan, humoris, serta memadukan metode pembelajarannya dengan teknologi.
Pak Subair hebat di bidang agama, teknologi/komputer dan Bahasa Inggris. Guru peduli sesama. Berkat motivasi Pak Subair saya lebih giat belajar.
Alhamdulillah, sekarang saya bisa berbahasa Inggris, saya berterimah kasih kepada guru bahasa Inggrisku yang menegur kesalahanku.
Saat penerimaan raport, bisa meraih peringkat 3, berkat motivator Pak Subair dan bapak saya menyekolahkanku di Lembang.
Saya bersyukur, bapak saya memisahkanku dari masa nakalku. Kini saya menemukan semangat baru, dan menemukan guru yang selalu memotivasi agar terus maju. (*)
Penulis adalah Mahasiswi Jurnalistik Islam IAIN Parepare.