Merawat Silaturahmi

Saya memilih judul itu, sebagai pengingat agar kita selalu bersahabat dengan semesta dan ungkapan peringati hari bumi pada 22 April.

Hari Bumi menandai hari lahir gerakan lingkungan modern pada tahun 1970, menyuarakan kesadaran melestarikan bumi.

Medio, Mei 2020, saya bersama Civitas Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Parepare, mengikuti silaturahmi via aplikasi Zoom, menghadirkan Prof Nazaruddin Umar, sebagai pembicara.

Mengulas kembali pentingnya silaturahmi. Saat silaturahmi berarti kita telah perkenalkan ukhuwah basyariah, ukhuwah islamiah, dan ukhuwah watania.

“Siapa saja yang ingin diluaskan rezkinya dan dipanjangkan pengaruhnya, maka sambunglah tali persaudaraan,” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Peganglah prinsip budaya Bugis. Sipakatau Sipakalebbi, Siamesei, menempatkan asitinajang, dan menyadarkan diri saling menguatkan saat menghadapi masalah, seperti pandemi.

Saat itu, Prof Nazaruddin Umar, mengurai, makna silaturahmi. Kata silaturahmi memiliki dua makna.Yakni rahmat dan rahim.

Kegagalan kita melebarkan silaturahmi, mungkin menjadi penyebab Allah menurunkan musibah.

Musibah itu sudah ada sejak zaman dulu. Jadi Virus Korona tidak lain sebagai bentuk peringatan Allah kepada kita semua.

Rasulullah Saw, pernah berdoa kepada Allah agar umatnya tidak ditimpakan azab, seperti yang ditimpakan umat sebelumnya.

Rasulullah berdoa agar umatnya tidak menderita kekalahan agar Islam tidak punah.

Musibah bukan untuk menyiksa, tapi peringatan agar kita selalu mengingat Allah.

Mungkin kita gagal menjadi pemimpin, melampaui batas alam semesta, kita over maskulin sehingga gagal menjadi abid.

Allah menurunkan musibah, sebagai pencuci dosa di masa lampau.

Hanya orang yang tidak memahami hikmah di balik musibah yang meratapi musibah.

Jika kita memahami hikmah di balik sebuah musibah, maka kita bersyukur terhadap sebuah musibah.

Satu hari kita dilanda sakit demam, Allah mengampuni dosa kita.

Musibah itu ujian buat kita. Orang beragama di mana ada ujian, di situ ada kenaikan kelas.

Tidak mungkin ada kenaikan kelas tanpa ada ujian. Makin berat ujian itu, maka makin bermartabat kelulusan kita.

Bersahabatlah dengan penderitaan, bersahabatlah dengan kekecewaan, bersahabatlah dengan penyakit, termasuk bersahabat dengan fitnah.

Jangan pernah memusuhi penderitaan karena kita akan dijerat rasa sakit yang pedih.

Kegagalan silaturahmi dengan alam semseta menyebabkan musibah.

Dulu kita damai dengan laut, gelombang laut mengantarkan barang kita ke negera lain, tapi laut bisa menggulung jadi tsunami dan menghancurkan semua.

Angin yang tadinya berfungsi penyerbukan atau perkawinan. Hembusan angin membantu terjadinya pembuahan pada tumbuhan.

Tapi, tiba-tiba angin menjadi badai dan hancurkan semua benda yang dilalui.

Hujan menumpuhkah air bagi tanaman. Membuat tanah subur untuk tanaman. Tiba-tiba banjir dan menghanyutkan semua.

Gunung sebagai patok bumi, tapi.satu per satu batuk sampai ada yang muntah dan meluluhlantahkan semuanya.

Apa yang Salah?
Mengapa makrocosmos tak lagi mau tunduk terhadap diri kita sebagai mikrokosmos.

Padahal Allah telah berfirman,”Kami tundukan apa yang ada di langit dan di bumi.”

Penundukan alam semesta ada syaratnya, alam tidak akan tunduk kepada manusia jika belum menjadi pemimpin yang benar di muka bumi ini.

Saat manusia melampaui batas, rakus, dan tamak, maka semesta tidak akan tunduk dan tak mau bersahabat dengan manusia.

Supaya malapetaka tidak berlanjut, Allah turunkan peringatan, mungkin peringatannya seperti Virus Korona.

Jangan-jangan Korona akan mengantarkan kita ke dalam rel yang benar, tidak mungkin kita sampai di tempat tujuan jika kita tidak berada di rel yang benar.

Musibah sering memberikan pembenaran dalam kehidupan kita .

Saat kita kena musibah, Allah kita panggil, tapi jika kita dapat jabatan, maka sudah ada kesomobongan dan kemabukan.

Cinta Allah dalam bentuk ujian lebih berarti dari surat putih dalam bentuk kenikmatan.

Begitu kita diundang dalam undangan merah atau sakit, kita begitu cepat menyebut nama Allah.

Kalau kita mau jujur, lebih khusyuk mana, kita berdoa dalam kondisi musibah atau kenikmatan.

Mana yang lebih khusyuk salat dalam kondisi terkena musibah dibandingkan dalam kemewahan.

Para Sufi tak pernah kecewa dengan penderitaan dan musibah sebab ia yakin Allah menerima doanya.

Ada tanda-tanda berupa prolog yang memungkinkan dirinya khusyuk. Tapi, membuat kita khusyuk adalah cobaan dan musibah.

Saat kita menjenguk orang sakit, mestinya dia doakan kita, orang sakit itu lebih makbul doanya dibandingkan orang sehat.

Kita harus saling mendoakan agar pandemi ini segera berakhir. Pandemi menjadi pelajaran, mari menjaga alam semesta agar tetap lestari.

Terkadang orang sakit tak bisa doakan dirinya atau diuji untuk menghapus dosanya.

Tidak turun penyakit menimpa seseorang hambah melainkan pencuci dosa di masa lampau.

Jika kita ditimpa penyakit, maka jangan bersedih, itulah tanda cinta Allah kepada hambanya.

Tanda Allah tak senang pada hamba adalah menunda penyiksaannya kelak di akhirat.

Hati-hati orang lancar rezekinya, tapi lancar dosa, dan tak pernah diperingati oleh Allah, jangan bangga. Itu namanya istidraj.

Konsep istidraj, dilukiskan nikmat dan menjalankan dosa akan disiksa di akhirat.

Lakukanlah pertobatan istimewa jika sudah melakukan dosa istimewa.

Allah Maha Pengampun. Sebesar apapun dosa hamba, lebih besar pengampunan Allah.

Hanya orang-orang memilih Neraka , masuk Neraka, Allah Maha Pengampun.

***
Perlu “berbisik” dengan mahluk di sekitar kita agar kelangsungan ekosistem memberikan kesejahteran bagi semua mahluk.

Kita meski bersikap baik dengan semesta. Tidak ada satu apapun di alam semesta yang tak bertasbih di hadapan Allah.

Pasir saja bertasbih. Makanya kalau jalan di muka bumi ini jangan sombong.

Jika Anda sombong, maka tanah akan bersumpah akan menjepit rusukmu, cacing akan menyantap ototmu.

Jangan buang kotoran di air mengalir dan jangan buang kotoran di air tenang bisa menimbulkan penyakit. (*)

__Terbit pada
24 April 2021
__Kategori
Ramadhan, Sains