Berliterasi agar tak Gagu
Ilustrasi/foto: dw.com
Minggu, 4 April, Tuan Guru bersiap mengikuti webinar bagaimana trik pembuatan website digelar Riau Smart, tapi jaringan kurang bersahabat, sulit masuk room meeting Zoom.
Tuan Guru jelajahi grup pertemanan, mendapatkan posting dari Sahabat Perpusnas bahwa Perpustakaan Nasional RI bekerja sama dengan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Singkawang gelar Peningkatan Indeks Literasi Masyarakat Kota Singkawang dan hadirkan narasumber kompeten.
Bagi sohib Tuan Guru, sebuah daerah dikatakan berbudaya bila perpustakaan daerah memiliki aktivitas literasi di masyarakat.
Perlu perhatian bersama, perbaiki literasi di tengah masyarakat biar tak gagu.
Menurut data UNESCO, tahun 2016, minat baca masyarakat Indonesia, hanya 0,001 persen. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca.
Riset Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan duduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61).
Padahal, 60 juta penduduk Indonesia memiliki gadget, atau peringkat kelima dunia terbanyak kepemilikan gadget.
Minat baca buku rendah, tapi data wearesocial per Januari 2017, mengurai, orang Indonesia bisa menatap layar gadget kurang lebih 9 jam sehari.
Tidak heran, urusan cerewet di media sosial, orang Indonesia berada di urutan lima dunia.
“Bagaimana jika gurunya malas membaca, malas beli buku, tanpa parah lagi jika daerahnya miskin aktivitas literasi,” ujarnya.
Apakah tunjangan sertifikasi guru perlu diaudit. Pemerintah berikan tunjangan sertifikasi selain kesejahteraan juga perbaiki kompetensi guru.
Salah satu anggota grup menjawab, urusan literasi bukan hanya tugas pemerintah, tapi melibatkan semua elemen yang cinta gerakan literasi.
Selain itu, kata Sohib pemahaman manajer sekolah perlu diuji terkait literasi agar literasi di sekolah dan di rumah bisa dibiasakan.
Sohib mengurai bahwa hanya sekira 10 persen guru baca buku tiap bulan, langganan koran di rumah, apalagi beli majalah.
“Tidak sampai 10 persen guru rajin kunjungan perpustakaan mencari referensi dan membaca. Bgaimana dengan siswa,” tanya Sohib, tanpa menyebut sumber data.
Kegiatan literasi tak perlu bertumpu pada masyarakat, tapi pemerintah harus hadir membuat program, pembiasaan membaca.
Tuan Guru, menawarkan dua buku yang ditulis selama pandemi dijadikan koleksi di perpustakaan.
“Tidak masalah, silakan dibawa, kalau penulis lokal itu akan menjadi koleksi lokal,” katanya.
Sohib menjawab, masa buku hanya dibawa saja ke Perpus. Hargai dong penulisnya. Mereka mengeluarkan biaya cetak, kreativitas. Tapi begitulah nasib penulis dinda,” katanya.
“Hahaha, biar situs e-commerce jual,” jawab Tuan Guru sambil membagikan link situs e-commerce tempat bukunya dijual. (*)