Jangan Tawar Jualan Orang Susah
ilustrasi dikutip dari wopita.com
Pagi itu, saya duduk di samping rumah, sambil memandang bunga dan tanaman apotek hidup di pot.
Tanaman itu sebagian sudah tumbuh subur dan sebagian bunganya sudah mekar. Sambil menikmati secangkir teh plus jahe hangat, memainkan gawai, sekadar melihat info kekinian.
Istri saya datang, ia pamit ke Pasar Sumpang Minangae, jaraknya sekitar tiga kilometer dari rumah. Ia meminta tolong dikeluarkan motor dari teras rumah.
Istri saya ke pasar membeli, keperluan kebutuhan sehari-hari. Saya melanjutkan membaca via gedget, sambil menyeruput teh jahe hangat di pagi itu.
Satu jam kemudian, istri saya datang membawa dua kantong belanjaaan. kantong pertama berisi ikan dan sayuran.
Kantong kedua berisi pisang berukuran kecil-kecil, sebagian sudah masak, sebagian lagi masih mentah. Pokoknya pisang campur-campur.
“Mau buat pisang goreng ya,” tanyaku sambil mengangkat kedua kantongan itu masuk ke dapur.
“Tidak,” jawabnya.
“Kok, beli pisang beginian, campur-campur, ada masak dan mentah,” tanyaku lagi, pagi itu agak nyinyir.
“Tadi saya ketemu nenek-nenek yang menjual pisang di pasar. Saya beli. Inilah cara kita membantu mereka” katanya lagi.
Dari cerita istri saya, saya teringat sebuah kisah orang kaya belanja di pasar yang diupload di media sosial, Facebook (FB).
Saya sangat tergelitik membaca pesan itu di sebuah status FB. Mungkin pembaca juga tergelitik dengan pesan yang disampaikan. Saya tahu siapa penulisnya. Saya edit beberapa bagian.
Ada orang kaya belanja di pasar tradisional. Saat berjalan di tengah pasar, langkah kakinya, tiba-tiba terhenti di depan seorang penjual sayur mayur yang membuka lapak di pinggir jalan. Penjual sayur itu, sangat sederhana.
“Berapa harga satu ikat kangkung,” tanya ke penjual sayur.
Penjual spontan menjawab, “Seribu Rupiah saja,” jawabnya.
Orang kaya itu menawar harga kankung. “Tiga ikat, dua ribu rupiah ya.”
“Wah, tidak dapat,” kata penjual kangkung.
“Ya udah, kalau begitu saya tak jadi beli,” jawabnya sambil
meninggalkan penjual kankung dengan langkah kaki yang pelan.
Wajah memelas, si penjual kangkung itu, terlihat jelas, ia menghela napas, sambil menghapus peluh membasahi wajahnya.
Apa hendak dikata, ia belum mendapat pembeli saat itu. Terpaksa ia memanggil calon pembeli tasi. Ia sepakat dengan harga yang diminta.
“Ya sudahlah bu… Ambillah,” katanya, bersyukur jualannya laku.
Si kaya itu membeli dengan perasaan bangga dan menang. Sangat bahagia. Membeli tiga ikat kangkung seharga Rp2.000.
Beberapa pekan kemudian, si kaya bersama keluarganya jalan-jalan ke pusat perbelanjaan modern.
Saat asyik belanja, ia lapar. Di tempat ia belanja ada restoran mewah menjajakan menu mewah dan tentu sangat lezat.
Setelah makan dia minta kuitansi pembayaran. Di kertas itu berisi menu yang dipesan dan di bagian bawah kertas tertulis Rp 415.000.
Si kaya itu mengeluarkan pecahan Rp100.000, sebanyak 5 lembar, kemudian memberikannya kepada pelayan restoran yang membawa kuitansi.
“Kembaliannya ambil saja.. Anggap sebagai uang tips,” katanya sambil meninggalkan restoran.
Nasihat dari cerita itu, masih ada orang merasa hebat ketika bisa menekan yang lemah, tapi segan kepada orang yang berpenghasilan besar.
Bolehkah kita tidak menawar harga kepada penjual yang susah. Apalagi yang menjual itu teman dan tetangga.
Jika harganya dianggap mahal, itu wajar. Membeli jualannya tanpa menawar sangat berarti bagi mereka. Kita peduli.
Dikutip laman umma.id, tawar menawar dalam Islam halal atau diperbolehkan, selama dijalankan sesuai sumber syariat.
Tawar menawar harga hingga tercapai kesepakatan kedua belah pihak agar tidak ada rasa keterpaksaan dalam urusan jual beli.
“Wahai orang orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil kecuali dengan jalan yang dilakukan atas dasar suka sama suka di antara kamu,” QS An Nisa Ayat 29.
Diperbolehkan tawar menawar dalam urusan jual beli agar tidak ada yang yang merasa dirugikan. (*)