Berperan Bukan Baperan
Sampena hari guru nasional tahun 2020, digelar sangat sederhana. Cukup buat status saja. Semoga tuan-tuan dan ibu guru terus berdedikasi serta menginspirasi anak didiknya.
Tak ada guru bertugas sebagai pengibar bendera peringati hari guru, demi memutus mata rantai penyebaran Covid-19.
Enyahkan Covid dengan cara jaga jarak, pakai masker, hindari kerumunan, dan cuci tangan. Jangan lupa tersenyum. Senyum guru dinanti anak didik. Semoga Covid segera berlalu.
Saya hanya berbagi cerita, cerita ini mungkin biasa bagi kita, tapi luar biasa bagi orang lain.
Beberapa tahun lalu, Tuan Guru mengundang orang tua ke sekolah, selain bahas perkembangan anak didik juga menerima hasil belajar siswa selama satu semester.
Tuan Guru datang ke sekolah lebih pagi. Kali ini, ia tak berdiri di depan gerbang sekolah, menyambut generasi penerus bangsa.
Tuan Guru bersama anak didiknya memilih beres-beres kelas. Persiapkan segala sesuatu, menyambut orang tua di sekolah.
Ruang kelas disapu dan dipel, diberikan pengharum, meja dan kursi ditata rapih.
Kemudian, Tuan Guru duduk di depan, sambil mengecek satu per satu raport, dia susun sesuai abjad.
Pewaktu sudah menunjukkan pukul 08.30, baru beberapa orang tua datang memenuhi undangan Tuan Guru, saat itu dipercaya menjadi wali kelas.
Tuan Guru membagikan hasil evaluasi belajar (rapor) anak didiknya, satu per satu orang tua dipanggil ke depan.
Diskusi kecil antara guru dan orang tua bahas capaian anaknya selama satu semester dan nasihat agar anak didik lebih giat belajar lagi.
Tiba-tiba ada orang tua menanyakan prestasi anaknya. Pertanyaan orang tua membuat Tuan Guru kaget.
“Rangking berapa anakku Pak,” tanyanya kepada Tuan Guru, saat menyodorkan rapor yang dibungkus map tebal berwarna biru.
“Maaf Bu, saya tak tulis di rapor agar anak-anak bisa belajar dan berdiskusi bersama, tanpa ada merasa paling pintar dan kurang pintar,” jawabnya, sambil perlihatkan prestasi anak didik.
“Saya berusaha mendidik anak-anak secara berkelompok dan pecahkan masalah bersama-sama. Kami tidak mendidik anak bagaimana strategi bersaing menjadi yang terbaik secara individu,” kata Tuan Guru.
Orang tua itu, diam sejenak. Ia kembali bertanya, “Di kelas sebelumnya ditulis rangkingnya Pak, ditulis.”
Tuan Guru membuka rapor anak didiknya, ia tak menemukan kolom rangking, hanya menemukan kolom baru yang dibuat guru.
Guru menambahkan kolom rangking, menghargai prestasi dan memenuhi keinginan orang tua.
“Saya mendidik anak Ibu pembentukan karakter, pecahkan masalah bersama-sama, sehingga tak ada yang merasa paling hebat, semua merasa berperan dan tidak ada baperan,” nasihatnya.
Bagi Tuan Guru, anak didik harus diajarkan bekerja secara tim, bukan individu agar kelak bisa membentuk tim terbaik menyelesaikan persoalan bangsa.
Sebaliknya, kata Tuan Guru, anak- anak yang bersaing secara individu untuk mendapatkan keinginannya, ia tak memiliki sikap empati dan peduli. Pokoknya misi tercapai.
Seorang guru harus menginspirasi anak didiknya, mendidik mereka teknik bekerjasama, pecahkan soal. Memberikan teladan dan nasihat yang baik agar mereka terus belajar dan tidak takut salah.
Anak-anak yang berhasil di masa depan, kata Tuan Guru, adalah anak yang diajar orang tua dan guru-guru luar biasa, bukan bergantung dari sekolah besar dan terkenal.
Bagi Tuan Guru, anak-anak tak butuh guru cerdas dan pintar, tapi butuh guru yang mampu mengispirasi.
Guru menginspirasi mampu menanamkan kepedulian dan empati terhadap orang lain.
Sikap empati bisa ditanamkan guru jika membangun hubungan yang bermakna dengan anak didik. Anak didik butuh diperhatikan dan dipahami.
Guru mengapresiasi anak didiknya di luar prestasi akademik dapat membantu mereka meningkatkan kemampuan peduli dengan orang lain
Guru berdedikasi dalam mengajar, menolong dan menguatkan anak didiknya. Anak didik yang memiliki empati tinggi, meneladani guru dan menjadikan guru sebagai role-model .(*)